Impian
Dalam Kerinduan Dan Penyesalan
epat
pukul 15.00 WIB, aku mendapatkan kabar dari sahabatku Agus yang menyatakan,
bahwa dirinya, posisi sudah sampai di tempat rumahku. Dengan adanya kabar itu,
aku langsung meluncur pulang, dan setengah jam kemudian, aku pun sampai ke
rumah.
“Gimana
Gus kabarnya…Sudah lama nunggunya...,” sapaku dalam tanya.
“Baik
bang…Ndak begitu lama kok bang..Yach, kira-kira sepuluh menitlah aku
menunggunya..,” jawabnya.
“Hmmm…Ayo, silahkan masuk..,”
ucapku.
“Ya
bang..,” jawabnya.
Kemudian
sahabatku Agus masuk dan duduk ke dalam ruang tamu. Lalu kami pun mulai
berbincang-bincang.
“Gini
bang Jack…Kedatanganku kemari ingin kasih kabar, dan sekaligus menanyakan soal
naskah-naskah karya jenengan. Pada dasarnya sudah terplotkan masuk semuanya ke
mesin cetak. Hanya saja ada salahsatu bagian dari lembaran naskah karya itu, sepertinya
ada yang terpenggal, dan endingnya akan menjadi sebuah pertanyaan. Apalagi dari
kisah ceritanya, sepertinya juga terkait dengan salahsatu judul ‘Ruas Lingkar Cahaya Matahari Dan Rembulan’
dalam buku antologi puisi ‘Kesederhanaan’
karya bang Jack..,” jelasnya,
sambil mengeluarkan stopmap yang berisikan lembaran naskah-naskah karyaku dari
tas ranselnya.
“Adapun
dari salahsatu lembaran naskah karyaku itu, yang mana Gus?,” tanyaku.
Kemudian
Agus pun langsung menunjukan salahsatu lembaran naskah karyaku yang berjudul ‘Impian Dalam Kerinduan Dan Penyesalan’
tersebut kepadaku. Dan selanjutnya aku membacanya, apa yang tertulis urai pada salahsatu
lembaran naskah karya itu. Adapun isinya mengisahkan cerita;….
Minggu, (12/08/12) malam....
Diatas
tumpukan sebuah buku ‘Kesederhanaan’ antologi puisi karyamu
yang begitu banyak menyimpan catatan-catatan dan kenangan-kenangan, baik itu dalam
suka maupun duka. Semuanya masih tersimpan rapi, bersih, dan senantiasa tetap
terjaga.
Sementara,
manakala aku memandang cover photomu di sudut bingkai bukumu itu. Tiba-tiba
hatiku bergetar begitu kuat, dengan setumpuk guncangan-guncangan perasaan ingin
mengatakan sesuatu. Dan sesuatu itu sepertinya, sebuah dorongan kerinduan yang
telah lama dari sekian tahun, yang tak pernah tersentuh akan hiasan-hiasan,
atas goresan-goresan canda tawa purnamamu.
Kemudian...Perlahan-lahan
tanganku mulai menyentuh cover photomu, lalu kubelai usap, mulai dari tatap
matamu hingga senyum bibirmu.
Dan
selanjutnya…Sambil menarik nafas dalam-dalam, aku berkata lirih sendiri:
"Ky....Maafkan
aku....Sesungguhnya akulah yang salah...Sebab kala itu, aku tidak mau mengerti
atas perasaanmu, terlalu keras, dan tak mau bersabar. Yang mana…Sejak dirimu
ingin menelusuri dan mau memutuskan perkara-perkara sebuah hasutan fitnah yang
terus-menerus menghujam jelajah ruang cinta kita. Dan…Pada waktu itu, aku
menghalangimu, dan tak setuju atas keinginanmu itu. Sehingga pada titik klimaknya,
aku dan dirimu malah bertengkar…Yang akhirnya diantara kita harus berpisah.
Namun dari hal itu...Dan kini….Tanpa menafikan yang telah terjadi, aku
benar-benar menyesal, sedih dan tak tahu harus mau berbuat apa. Padahal yang
kurasakan pada saat ini, hati dan jiwaku benar-benar tersiksa dan teramat
sangat merindukanmu. Serta ingin sekali segera bertemu, lalu memelukmu, dan sekaligus
meminta maaf kepadamu.”
Beberapa menit kemudian…
“Ky...Apakah
kau disana, juga merasakan kerinduan seperti yang kurasakan pada saat ini. Dan
apakah dirimu, kelak suatu ketika aku ingin kembali bersama denganmu...Apakah
engkau mau menerimaku...?”
Kemudian…Tanpa
aku rasakan, tiba-tiba air mataku jatuh berlinang. Sehingga aku, tak mampu lagi
untuk meneruskan kata-kata yang masih bergejolak ada didalam perasaanku. Dan
akhirnya…”Yach, lebih baik kubawa saja buku kesederhanaan antologi karyamu itu kedalam
kamar tidurku. Biar nantinya, kerinduanku untukmu yang tengah terjadi dan
berkecamuk ada pada diriku dapat menyatu dalam taburan mimpi.”
***
“Jadi
gini, Gus…Dari salahsatu lembaran naskah karyaku ini, sebenarnya dan merupakan
lembaran naskah karya akhir dari kisah cerita semuanya. Dan jujur kuakui,
lembaran naskah karya itu terinpirasi dan memang ada kaitannya dengan karya
antologi puisiku yang berjudul ‘Ruas
Lingkar Cahaya Matahari Dan Rembulan’ (11/08/08) yang terdapat dalam buku ‘Kesederhanaan’. Namun…Hanya saja,
sosok yang ada pada lembaran naskah ini memang aku sengaja tidak kusebutkan
identitas namanya. Karena pada saat itu aku berpikir, biarlah hal ini yang
cukup tahu hanya antara aku, isteriku, dan yang pernah dekat denganku…,” ungkapku
dalam senyum bunga matahari.
Dan selanjutnya...
“Disamping
itu juga, biarlah hal ini menjadi tanda tanya bagi para pembaca. Serta
bagaimana cara sudut pandang dalam pemikirannya,” kataku menambahi.
“Ooo..Gitu
ya bang…Lantas dan berarti, lembaran naskah karya tersebut tetap dijadikan satu
dengan lembaran naskah-naskah karya yang lain bang…,” ucapnya sambil
manggut-manggut.
“Yach…Sebab
bagaimanapun juga, apapun bentuk dan wujudnya sebuah karya itu, tetaplah karya.
Yang perlu dihargai dan dihormati. Dan bahkan diapresiasikan secara nyata,” jawabku.
“Oke
kalau gitu, berarti besok bisa aku plotkan jadi satu dengan lembaran
naskah-naskah karya yang lainnya, dan siap dicetak. Tapi maaf bang Jack…Kalau
aku boleh tanya, dari kisah cerita pada lembaran naskah karya tersebut, apa yang
perlu digaris bawahi sebagai pijakan bagi para pembaca. Termasuk juga,
kesimpulannya,” urai tanyanya.
Lalu aku pun menjelaskannya…
“Perlu
kamu ketahui terlebih dulu…Pada dasarnya, dari balik kisah cerita sebuah
perjalanan cinta dari lembaran naskah karya dengan judul itu, sesungguhnya tak
pernah lepas dari suatu keinginan dan kerinduan pada lajur suatu persoalan
maupun problematika yang telah dilalui bersama, hingga menjadi sebuah catatan
ataupun kenangan tersendiri. Dan tentunya, semua diri manusia mempunyai impian,
harapan dan cita-cita dapat tersampaikan dan terwujudkan menjadi kebahagiaan
dan kedamaian. Tetapi, manakala dari balik kisah sebuah perjalanan cinta
tersebut pada akhirnya tidak dapat tersampaikan dan terwujudkan atas apa yang
diharapkan, diimpikan dan dicita-citakan. Maka hal ini, tentunya sangat terasa
menyakitkan. Dan bahkan akan menimbulkan dampak penyesalan yang berkepanjangan.
Oleh sebab itu, tidak ada suatu hal yang dapat sebagai patokan atau ukuran dari
balik kisah sebuah perjalanan cinta diri manusia itu dapat diperkirakan, lepas
dari garis takdirnya.,” jelas uraianku.
Setelah
dari penjelasanku itu. Tak lama kemudian, aku menutup lembaran naskah karyaku
itu, dengan memberikan suatu kesimpulan hikmah. Adapun dari sebuah kesimpulan
hikmah itu, ada dua hal yang dapat dipetik (Digarisbawahi, red) sebagai catatan
dan juga pelajaran, yakni;
(1). ‘Sesungguhnya akhir sebuah kebahagiaan dan
kedamaian apapun bentuk dan wujudnya yang kita inginkan. Tidak selamanya diri
kita sebagai manusia, ketika dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan dalam suatu persoalan
maupun problematika dikehidupan ini dapat diselesaikan dengan baik dan sempurna.
Maka dari itu, hanya dengan berpegang jalan “Pualam Cinta” yang bertalikan kasih sayangNya itulah, jawaban
yang sesungguhnya.’
(2).
‘Setiap meranahi diri pada sebuah kenangan masa lalu yang telah teruraikan pada
kenyataan-kenyataan sangat menyakitkan dan kepahitan dalam bahtera cinta.
Tentunya dapat dijadikan sebagai bahan perenungan dan sekaligus sebagai kaca
benggala. Sehingga perjalanan bahtera cinta selanjutnya, semakin matang,
dewasa, dan tumbuh lebih percaya diri.’
“Dari
yang telah bang Jack utarakan semuanya dengan secara gamblang, jelas dan utuh,
mengenai salahsatu lembaran naskah karya yang aku tanyakan itu. Kini aku
semakin tahu dan mengerti. Untuk itu, tak ada keraguan lagi bagiku, mencetakan
semua naskah karya-karya bang Jack menjadi sebuah buku novel,” ucap Agus
menyakinkanku.
Sementara
itu, apa yang dikatakannya, aku hanya tersenyum mengamini. Dan selanjutnya…Tak
beberapa lama kemudian, sahabatku Agus mohon pamit pulang.
.Doc.Arsip.