Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik
secara langsung maupun serentak pelaksanaannya, tidak ubahnya seperti juga
dalam pemilihan presiden ataupun anggota legislatif (MPR-DPR RI/D). Dimana
rakyat pada akhirnya hanya sebagai tempat / wadahnya sebuah bidikan / target Partai
Politik (Parpol) sebatas dalam perolehan nilai hitungan, dan penentu suara. Bahkan
hal tersebut juga sebagai ajang kosumsi politik amunisi dan gizi sesaat.
Artinya, ketika dalam penyelenggaraan hingga pada akhirnya, semata-mata
berorentasi pada guliran euphoria; sebatas tebaran sembako dan uang saja.
Perlu untuk diketahui, bahwasannya apapun sistem penataan
dan penyelenggaraan pemilu pada demokrasi modern yang berpijak dalam
kerangka pigura paham kebangsaan dan keragaman, tentunya menjadi suatu landasan
moral dengan menjunjung nilai-nilai
kerakyatan yang berkeadilan, beradab, bermartabat dan berbudaya. Serta berpijak
melakukan penetapan sebagai pejuang, penyambung
lidah suara rakyat, dan sekaligus pemegang amanat bagi kepentingan; kesejahteraan rakyat. Hal itu merupakan domain
dilihat dari esensi dan absolute tidak boleh untuk dilanggar oleh siapapun,
termasuk penganut paham tersebut. Namun kenyataannya, apakah ketika telah
menjadi seorang pemimpin/ kepala daerah /
penyelengara
negara, sudahkah menanamkan niat dan tekad berjuang untuk / demi rakyat?
Sementara,
banyak Partai Politik (ParPol) yang diiringi gagasan, tertuang visi misi dan
tertebar janji-janji, serta program-progam; katanya untuk / demi
kepentingan rakyat. Namun tanpa disadari
dan tahu ataupun tidak, logikanya dengan bermunculnya banyak parpol akan
menambah besarnya cost yang dikeluarkan guna
mendapatkan dukungan dan pilihan bagi calon yang
diusung, atau belum
lagi pada saat antar parpol berkoalisi dengan parpol lain. Dan tentu pada inti dasarnya adalah bagaimana calon
yang diusung-dukung tersebut untuk dapat jadi / berhasil goal duduk menjadi pemimpin
/ kepala daerah.
Dan ironisnya, manakala dalam pelaksanaan pemilihan
terjadi dua kali masa putaran. Hal ini tentunya menjadikan grafik tingkat
pengawasan Negara dalam penggunaan anggaran semakin ketat, serta dapat / akan
mempengaruhi kondisi ekonomi yang pada saat ini dalam ‘fase recovery’ (Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, red) masih tarap kembang kempis dan
belum mampu mendongkrak senigfikan perekonomian negara
secara global.
Dampaknya
anggaran-anggaran
negara
perlu melakukan lebih orientatif, efesien, efektif dan selektif. Disamping itu juga dalam sistem penyelenggaraan, tatanan
aturan, dan pengawasan, baik dari KPU, Bawaslu dan beserta jajarannya ke
bawah. Sebab masih belum dapat menjalankan
secara optimal dan maksimal (baik secara tekhnik pengawasan dan kewenangan,
red), yang mana ketika terjadi kerancuan / ketimpangan dalam pendistribusian kertas
/ kotak suara, penyelewengan anggaran dan kecurangan pada saat / akhir penghitungan
suara. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah perundang-undangan dan aturan main
yang sehat, jelas, tegas dan terukur. Serta juga dapat merekrutmen perangkat SDM yang memiliki integritas, independen dan netralitas.
.Perlu Pengawasan Dan Partisipasi Berbagai Pihak.
Adapun untuk tahun 2015 ini
diketahui dalam penyelenggaraan Pilkada akan diadakan serentak, yakni pada 09 Desember 2015.
Maka dari itu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah yang dilansir dari berbagai
media, (termasuk www.gemadesa.com, red) pada
saat menyelenggarakan acara serta sosialisasi ‘Bimbingan Teknis Pengawasan Partisipatif Dalam Pemilihan Bupati / Walikota Tahun 2015’, Selasa (21/04/2015) lalu. Dimana hal itu guna
membuka wawasan dan kesadaran, serta mengantisipasi dan meminimalisir adanya
bentuk kecurangan maupun pelanggaran. Apalagi Ketua
Bawaslu Jawa Tengah, Abhan Misbah SH menyatakan, bahwa selama
ini penyelenggaraan dan pengawasan dalam pemilu kurang maksimal, dikarenakan kewenangan panwas kurang maksimal. Ditambah lagi peran partisipasi masyarakat enggan untuk melaporkan jika terjadi atau mengetahui
pelanggaran. Untuk itu dukungan dan partisipasi masyarakat, Ormas, atau berbagai pihak bisa lebih maksimal.
Disamping itu juga, dan yang lebih penting adalah
calon-calon pasangan Walkot / Walbut masing-masing yang diusung-dukung haruslah
komitmen dan konsisten, yaitu dapat saling menghormati, menerima dan legowo,
manakala terjadi kalah atau menang pada saat hasil akhir pemilihan.
Dari pernyataan hal tersebut, merupakan bagian dari
bentuk warning, evaluasi, pembenahan dan juga harapan, agar dalam penyelenggaraan
pilkada dapat berjalan tertib, kondusif, aman, lancar dan sukses. Serta dapat menghasilkan
kepala
daerah yang kredibel, amanah, dan tentunya membawa kesejahteraan bagi kepentingan masyarakat
luas; bukan kepentingan tim-tim
suksesnya.
.Doc: Artikel karya MT Mudjaki/GD/Media Network Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar