Adanya kenaikan
harga beras yang terus menerus naik, pada dasarnya disebabkan adanya laju penyusutan lahan produktif pertanian. Hal ini diakibatkan lahan tersebut menjadi
alih fungsi lahan, baik itu untuk perindustrian, properti atau rumah
makan. Padahal diketahui dari data statistik, tiap per tahun di Jawa Tengah
saja hampir rata-rata mencapai 350-400 hektar yang telah menyusut. Dari data disebut, menjadi ancaman serius bagi
produksi beras nasional yang kisaran 60
persennya disumbang dari lahan pertanian
dari
Jawa.
Berdasarkan
peraturan perundang-undangan Permentan No.81/OT.140/2013 yakni mencakup pertimbangan
pedoman teknis cara alih fungsi lahan bagi pertanian pangan berkelanjutan. Dan
juga pada perundang-undangan No.7 / Th.1996 yang diselaraskan dalam peryataan
FAO/WHO/1992 dan telah ter / dirumuskan
oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), bekerjasama dengan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, pada intinya berbunyi kurang
lebihnya sebagai
berikut; ”Ketahanan Nasional adalah
kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi tiap-tiap aspek kehidupan
bangsa dan negara (asta gatra), yang mengandung kemampuan dan ketangguhan dari
suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa
dan negara”.
Jelasnya, bahwa
alih fungsi lahan pertanian produktif maupun nonproduktif pada dasarnya guna/bagi keselarasan
dan kesejahteraan kehidupan rakyat, bangsa dan negara. Untuk itu, jika sampai
terjadi pelanggaran dan ketimpangan, tentunya harus ditindak dengan tegas tanpa
tebang pilih.
Dan praktik
alih fungsi lahan produktif ataupun
nonproduktif, jelas tak terlepas dari peran dan tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun
daerah. Apalagi banyak sejumlah
daerah beralasan alih fungsi lahan diperlukan untuk mendukung perindustrian. Hal itu semestinya
harus perlu pengkajian, pertimbangan
mendalam. Namun dan kecuali dalam pengembangannya untuk industri itu bisa menggunakan lahan nonproduktif bukan lahan produktif, dengan cara
catatan didukung infrastruktur yang bagus, seperti jalan raya, jalan tol dan
sarana umum lainnya.
sehingga lahan nonproduktif tersebut dapat
digunakan ada nilai
manfaat yang lebih luas, khususnya bagi masyarakat.
.Perlu Dasar, Konsep Dan Langkah-langkah Realitis.
Sementara itu guna mengupayakan dan mengoptimalkan
terwujudnya ketahanan pangan nasional yang kuat, perlu dasar,
konsep dan langkah-langkah realistis, yang tentunya juga
berwawasan ketahanan
nasional. Apalagi ruh dari program
ketahanan pangan adalah ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat terhadap
bahan pangan secara adil dan merata. Dan bukankah ketersediaan mengandung nilai
semangat produktifitas, sedangkan aksesibilitas
mencakup bagaimana pemenuhan hak asasi serta keterjangkauan termasuk daya beli
seluruh rakyat akan pangan. Sedangkan untuk produktifitasnya mengandung nilai kemandirian
dan keberdayaan.
Perlu dipahami, kemandirian
dalam ketahanan pangan bukanlah kemandirian dalam keterisolasian, ketergantungan
dan lepas dari tatanan/aturan. Namun kemandirian
itu, konteksnya (global) menuntut adanya
kondisi saling ketergantungan (interdependency)
secara sinergi/selaras antara
lokal-global, traditional-modern, desa-kota, rakyat-pemerintah,
pertumbuhan-pemerataan, serta antar lembaga sesuai fungsinya.
Jadi dengan demikian kemandirian
itu adalah
paham pro-aktif dan bukan reaktif atau defensif.
Oleh karena itu, kemandirian
ketahanan pangan dapat diwujudkan manakala
paradigma pembangunan yang dikembangkan mampu memadukan dan
mensinergikan antara
tuntutan kebutuhan pangan dengan
pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat mengetahui fungsi dan peran pengelolaan produktivitas pangan
yang berwawasan ketahanan nasional pada semua tingkatan pemerintahan dan
lembaga masyarakat menjadi sangat penting. Serta
dalam kemampuan produktivitas
pangan ketika dihadapkan
pada permasalahan penyempitan lahan akibat produktivitas non pertanian
dapat melakukan pemberdayaan,
pengelolaan dan pengembangan secara
cermat, tepat, optimal dan bertanggungjawab.
.Doc:
MTM/GD/PD@21/Media Network Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar