Sabtu, 08 Oktober 2016

Rajawali Sayap Merah, Satu Lingkar Awan Biru Gunung Tidar

Lihatlah puncak gunung menjulang tinggi…
Perkasa menaungi hamparan keteduhan dan kedamaian…
Lihat kepak rajawali membentangkan sayapnya…
Terbang gagah bersama nyanyian semesta alam rayaNya…
…………………………………………………………………………………………………………………
Di bawah lereng kaki gunung Tidar dalam naungan langit berkabut awan mendung. Cahaya matahari berselimut memalung diam diharibaan ufuk cakrawala merayu. Sementara disepanjang helaian batas-batas garis hamparan lahan petani yang bersemayan pepohonan berwarna hijau kekuning-kuningan, begitu tumbuh dalam kesuburan, keindahan dan keteduhan. Hingga menjadikan aku terpana dan terkagum….
Namun tanpa aku sadari, ketika mataku memandang disebelah arah, tepatnya pada batas kanan garis hamparan lahan petani tersebut. Terlihat dari ketinggian tebing dinding berkarang tanah bebatuan terjal, tampak dua sosok manusia tengah duduk saling berhadapan pada sebuah beranda rumah kayon bercungkup genting Jawa. Sepertinya…Kedua sosok tersebut sedang membicarakan sesuatu hal yang begitu serius.

Dan kemudian….

"Wahai rajawali sayap merah, lingkar awan biru gunung Tidar....Sesungguhnya aku merasa trenyuh atas diri Sang Begawan Yatsa. Dimana...Dari sekian perjalanan waktu sebuah perubahan yang telah ia lalui dengan perjuangan penuh kesabaran, selalu saja dikhianati, dihasut, difitnah, dan dipecundangi oleh orang terdekatnya yang telah diberi kepercayaan darinya. Untuk itu, kumohon jaga dan selamatkan diri Sang Begawan Yatsa dan keluarganya dari hal-hal orang tersebut," penuturan Sang Begawandhinata sambil menatap langit yang semakin lama gelap.

“Ya tentunya kangmas…Sebab bagaimanapun juga, diri Sang Begawan Yatsa merupakan satu kesatuan, bagian juga dari diriku. Seperti halnya aku dengan panjenengan, kangmas…,” jawab rajawali sayap merah, lingkar awan biru gunung Tidar.

Selanjutnya…Sambil menghela nafas dengan seulas senyum, rajawali sayap merah melanjutkan perkataannya….

“Bukankah kangmas lebih tau dan banyak telah mendengar atas sepak terjangku….Manakala dalam setiap kancah pertempuran, masa perubahan, hingga dalam percaturan politik demi kebaikan dan keselamatan masa depan Negeri ini, aku senantiasa membayangi ada untuk dirinya. Meskipun diantara aku dan dirinya berbeda dalam bendera. Namun...Pada dasarnya aku dan dirinya, merupakan satu garis cakrabuana diantara dua sayap rajawali,”

“Hmmm..ya, aku tau…Maka dari itu, dirimu aku undang datang kesini untuk membicarakan atas apa yang kurasakan dalam kekawatiran atas diri Sang Begawan Yatsa dan keluarganya. Karena hal ini menyangkut harga diri dan demi masa depan bangsa negri ini. Apalagi kau tau…Bukankah dengan keadaan diriku yang sekarang ini, ditambah berada ditempat yang sudah jauh dengannya, dan tak mungkin untuk bisa bertemu lagi dengan dirinya…Tidak seperti masa dulu, dimana ketika aku, kau dan dirinya masih bersama dalam satu tempat ruang lingkup disini…,”

“Iya, saya mengerti dan bisa memahami akan hal ini…Oleh karena itu, pada saat aku pulang nanti ke Batavia, apa yang kangmas rasakan dalam kekawatiran pada dirinya, akan aku sampaikan kepadanya…,”

“Terima kasih sahabat…Oh, ya…Ngomong-ngomong, kapan dirimu pulang ke Batavia?...

“Dikondisikan besok pagi, pada saat cahaya fajar menyingsing digaris ufuk cakrawala…,”

“Jika demikian, nanti aku titip sekalian surat wasiat untuknya…,”

“Baiklah, kangmas…Tapi surat wasiat apakah itu kangmas?..,”

“Sebentar kuambilkan, dan nanti engkau boleh membacanya…,”

Kemudian Sang Begawandhinata berdiri bangkit, dan berlalu masuk kedalam ruang. Selang beberapa jam kemudian diri Sang Begawandhinata datang dengan membawa selonsong gulungan berwarna merah, dengan renda-renda benang bermotif bunga emas.

“Inilah surat wasiat dariku…Coba bukalah dan bacalah…,”

Lalu Sang Begawandhinata memberikan selonsong gulungan berwarna merah, dengan renda-renda benang motif bunga emas itu pada diri rajawali sayap merah, dan kemudian…

Sementara itu langit diatas gunung Tidar terlihat sudah mulai terasa semakin pekat dan gelap. Sepertinya, sebentar lagi cuaca akan berubah turun hujan. Dan akupun harus cepat-cepat bergerak mundur, meninggalkan kedua sosok tersebut. Hingga aku tak dapat melanjutkan atas alur cerita dari perbincangan mereka berdua selanjutnya…


***
.Doc. Cerpen: MTM-1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar