Siang berkalung jelajah awan panas, dibawah pijar
cahaya mata langit yang menyengat, aku melihat seorang ibu tua berkebaya rona
uliran kayu kain kusut, tengah bersandar disebuah tembok bekas jejak rumah yang
baru saja tergusur. Kurasakan…Tampak wajah tatapan matanya begitu sayu berkatup
meredup, dengan dahi berlekat keriput, berkayuh keringat mengalir cahaya kaca kusam. Sepertinya, dirinya
kelelahan…Atau mungkin, sedang merenda redam dalam kesedihan yang teramat
menyakitkan.
Sementara diseberang jalan yang tidak begitu jauh,
yakni kurang lebihnya 200 meter dari batas mata samping kameraku. Tampak
beberapa orang begitu sibuk mengumpulkan barang-barang yang tersisa dan tertinggal. Baik itu berupa
papan-papan kayu, pilar-pilar besi maupun perabotan rumah tangga.
Lalu…Sayup-sayup kudengar suara dari salah satu
bilik kamar yang telah rapuh setengah dindingnya, tepatnya berjarak sekitar
tujuh meter samping tembok tempat ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut
yang tengah bersandar tersebut, sedang mengerang jerit tangis penuh sayatan
kata-kata cacian, serta doa-doa sumpah serapah yang tak terbatas tanda baca
alur akhir kalimatnya.
Adapun suara itu….
“Anjing!!..Biadab!!...Dan laknat!!...Tanah ini
tanah leluhurku….Yang diturunkan atas keturunannya, dan diperoleh dari hasil
keringatnya sendiri…Namun, kenapa engkau merampas dan menggusurku…? Dan
kusumpahi kalian akan menemui kesusahan hidup dan mati dalam siksaan…Oh, dasar
jiwa mental penjajah!!…,”
Namun…Ada sekilas tubuh tiba-tiba memeluknya, dan
berkata…
“Sudahlah ibuku, kita terima saja dan bersabarlah…Bukankah
Tuhan Yesus telah mengajarkan diri kita, manakala daya kemampuan dan upaya
usaha kita sudah direbut paksa, dan kita sudah tidak dapat mampu menghalau dan
mengatasinya, maka lebih baik kita mengalah dan menyingkir. Dan yakinlah, Bapa
Allah tidak akan menutup mata hatiNya dan kuasaNya atas kejadian hal ini.”
“Tapi anakku…Aku belum bisa menerima atas hal ini.
Apalagi kau tau, rumah ini satu-satunya rumah peninggalan sejarah ayahmu dan
juga dari leluhur eyangmu. Dan rumah ini banyak menyimpan kenangan yang begitu
indah dan damai...,”
“Aku tau itu ibu…Tapi bagaimanapun juga kita harus
merelakannya, dan mau menerima kenyataan ini. Dari hal ini kita tidak sendirian
ibu…Coba ibu lihat itu…Nenek Siti Aminah (ibu tua berkebaya rona uliran kayu
kain kusut, red) tetangga sebelah rumah kita pun juga mengalami hal seperti
kita, dan beliaunya ya akhirnya dapat menerimanya dan bersabar, meskipun sangat
menyakitkan. Belum lagi ibu Ipah, ibu Parti dan yang lainnya…,”
Kemudian tubuh yang memeluk ibu tersebut
perlahan-lahan mengayun-ayunkan pelukannya sambil mendendangkan lagu kidung
gereja. Lalu…Selang beberapa jam kemudian, suara jerit tangis itu pelan-pelan
mulai menghilang, larut bersama teduhnya nyanyian kidung gereja tersebut.
Dan sementara itu, aku hanya mampu memandang dalam
mata keheningan jiwa beningnya langit yang terdalam sambil berguman: “Oh, Jakarta,
Oh Batavia, Oh jantungnya negara…Yach, ternyata jalan terjal wajah kehidupan
kotamu dari dulu hingga kini masih berlaku geliat ketetapan perubahan keras,
beringas, panas dan cadas. Hingga membuat mata nurani telah hilang dan digantikan
nilai-nilai lembaran serakah, tamak dan angkuh.”
Lalu…
Tanpa terasa, waktu telah merambah menuju senja
hari…Dan sebentar lagi jelang memasuki Maghrib. Maka dari itu, aku harus segera
berkemas-kemas diri. Namun…Pada saat aku tengah selesai berkemas-kemas, dan
ingin beranjak untuk berlalu…Tak terduga, terlintas mataku menyelinap tatap
sejenak pada diri seseorang ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut yang
tengah bersandar, demikian juga pada diri seseorang ibu yang tengah mengerang
jerit tangisan dalam pelukan anaknya. Sehingga aku merasakan sesuatu hal yang begitu
berat dan enggan untuk meninggalkan keadaan mereka. Tetapi dikarenakan aku
terpaku pada sebuah tanggungjawab atas pekerjaan dan juga keluarga…Yach,
terpaksa…Mau tidak mau aku harus berlalu dan…Pulang…
***
(
Kumpulan Antologi Kondomium Opini Cerpenku: ‘Realisme To Reintrospection’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar