Oleh: MT. Mudjaki
Demokrasi
modern dalam kerangka pigura paham kebangsaan dan keragaman, tentunya menjadi suatu
landasan moral dengan menjunjung nilai – nilai kerakyatan yang berkeadilan,
beradab, bermartabat dan berbudaya. Serta berpijak melakukan penetapan sebagai pejuang,
pemegang amanat dan penyambung lidah suara rakyat. Hal itu, merupakan domain
dilihat dari esensi dan absolute tidak boleh untuk dilanggar oleh siapapun,
termasuk penganut paham tersebut. Namun kenyataannya, apakah ketika telah
menjadi seorang pemimpin atau penyelengara negara, sudahkah menanamkan niat dan
tekad berjuang untuk rakyat?.
Sementara,
banyak saat dimana semangat berpolitik dari para aktor politik dengan
mendirikan sebuah Partai Politik (ParPol) yang diiringi gagasan, tertuang visi
misi dan tertebar janji-janji katanya baru; untuk / demi rakyat. Padahal disadari
dan tahu ataupun tidak, logikanya dengan bermunculnya banyak parpol akan
menambah besarnya cost yang dikeluarkan guna mendapatkan dukungan dan pilihan
bagi partainya, belum lagi pada saat parpol berkoalisi mencalonkan atau
mendukung siapa yang dapat memimpin negeri ini, bahkan ketika dalam pelaksanaan
pemilihan terjadi dua kali masa putaran. Hal ini, tentunya menjadikan grafik
tingkat pengawasan Negara dalam penggunaan anggaran semakin ketat, serta dapat
/ akan mempengaruhi kondisi ekonomi yang pada saat ini dalam fase recovery masih
tarap kembang kempis dan belum mampu mendongkrak senigfikan perekonomian Negara
secara global. Dampaknya anggaran – anggaran Negara perlu melakukan lebih
orientatif, efesien, efektif dan selektif.
Pada dasarnya
rakyat itu ‘nrimo ing pandum’ (Jawa,
red) artinya menerima apa adanya yang telah menjadi ketetapan. Dengan tidak hanya
melihat dan menunggu. Tetapi dapat merasakan langsung, bagaimana nantinya para
wakil rakyat yang telah diberi kepercayaan dapat memegang amanat dan berjuang
sebagai penyambung lidah suara rakyat, guna dalam perbaikan, penataan dan kebijakan yang berpihak, tentunya untuk
tarap kesejahteraan bagi rakyat. Namun jika diingkari akan ‘ora narimo olehe gandum ing jerone pandum’ artinya; tidak dapat
menerima apa yang diharapkan dari suatu kepercayaan dalam ketetapan. Jika hal
ini terjadi, maka segala kepercayaan tersebut akan diminta kembali dan dapat menimbulkan
suatu pengalaman sejarah pahit terulang kembali. Untuk itulah sebagai anak
bangsa yang telah mendapatkan kepercayaan sebagai pemimpin Negara dan para
wakil rakyat diharapkan dapat memenuhi dengan menempatkan kebijakan selaras
kepentingan rakyat, jangan sampai dalam sekepil sebuah ‘Antologi puisi
karyakoe’; Awal kau taburkan…tengah kau tumbuhkan….dan akhir kau hancurkan.
.Doc: MTM, 220910.