Dalam pengelolaan
sistem tata niaga dan kebijakan soal ketahanan bahan pokok pangan (beras) yang
telah ditetapkan oleh pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat, banyak terjadi
distorsi (penyimpangan). Hal ini disinyalir, dilakukan oleh para mafia dan
jaringannya. Dimana modus yang dilakukan dengan cara tertutup, yakni membentuk
sebuah kartel/kantong persekongkolan dari mulai tingkat level atas, antara pihak-pihak
oknum birokrasi pengambil kebijakan maupun oknum aparat hukum.
Sedangkan
untuk tingkat level bawah, biasanya dengan cara memanfaatkan struktur organ
pasar, melalui tangan-tangan tengkulak, perantara (middlemen) yang memiliki pengaruh, baik ditingkat kelurahan maupun
kecamatan.
Persoalan dari
hal itu, sebenarnya di Indonesia sudah lama berkembang, dan bahkan sudah
mengakar sangat rapi dan kuat. Oleh karena itu, selaku pemegang mutlak (preogratif)
kebijakan, seharusnya pemerintah melalui Kementan, Kemenperindag dan aparat
hukum lebih serius dan tegas dalam penanganan persoalan tersebut.
Apalagi
diketahui lebih kedalam, para mafia level tinggi inilah yang sesungguhnya akar
persoalan utama, dan sangat sulit untuk diberantas. Dan bukan menjadi rahasia
umum, bahwa mereka itu (para mafia, red) memiliki akses jaringan yang sangat
lihai dan pintar masuk kedalam perumus pengambil disetiap kebijakan, yaitu dengan
cara mencari celah, kesempatan dan kelemahan pada setiap pasal-pasal maupun
rumus system kebijakan tata niaga soal pangan tersebut.
Sementara
itu, berdasarkan Inpres No.05/Th.2015, pada dasarnya pemerintah melalui Menteri
pertanian yang melibatkan Bulog dengan diperkuat ‘Team Sergap’ (Th.2016) telah
melakukan sistem pengelolaan tata niaga pangan beserta kebijakan-kebijakannya,
yakni dengan cara melakukan Penyerapan, Pengadaan dan Penyaluran (P3P). disamping
itu juga dilakukan penetapan Pemantauan, Pengawasan dan Penyidakan Operasi
Pasar(P3P-OP).
Dari hal
ini, persoalan dan penyimpangan yang menyangkut komoditas dan stabilitas bahan
pokok pangan belum maksimal bisadicegah dan teratasi. Namun, setidak-tidaknya
minimal dapat memutuskan mata rante ataupun simpul-simpul para pelakunya.
Sementara
dengan penerapan continuetas sistem P3P dan P3P-OP tersebut, terlihat mulai
tumbuh baik, stabil dan berhasil. Bahkan grafik tingkat nilai untuk eksport pun
cukup signifikan terjadi peningkatan. Yang mana diketahui dari Tahun 2014-2015 prosentase
secara nasional total kontribusi penyediaan hasil produksi padi naik sebesar
48-51% (meliputi Jawa maupun luar Jawa: Sumatera, Sulawesi, NTB, Bali dan
Kalimantan).
Oleh karena
itu, dengan pencapaian keberhasilan tim tersebut, tentunya dapat diapresiasikan
sebagai pertimbangan dan acuan secara permanen untuk tahun-tahun selanjutnya.
Dan bila perlu, tim ini dalam melakukan pengendalian dan penindakan dalam hal
terkait komoditas pangan dan strategis stabilitasnya dapat diberikan kewenangan
kinerja; hukum lebih optimal dan tegas.
.Doc: MTM/Dat.Hms-Dispertan-Disperindag/GD-N/Media
Network Jateng.