Ketika
seorang penyair menuangkan sebuah karya dalam hal ini
puisi. Pada dasarnya digunakan sebagai media / wadah menumpahkan ledakan
uneg-uneg, amarah, asmara, kritik sosial dll yang berujung pada harapan,
cita-cita dan keinginan. Kita memang tidak dapat secara riil mengukur seberapa besar
kandungan isi dan arti / mesiu dalam proses
peledakan tersebut, bahkan secara naluripun apakah kita dapat tahu; ledakan
itu tidak akan terjadi, karena api yang membakar sumbu tiba-tiba meninggalkan
gegap yang tak terjadi.
Karya yang fenomenal secara jelas tidak
bisa kita rangkumkan dalam satu kata pencirian. Karena, bisa jadi ia dihujam
oleh berbagai latar yang melatar belakangi, atau karya tersebut adalah proses
kontemplasi yang lama setelah membaca keadaan. Bahkan, dapat juga karakteristik
yang melahirkan karakter sebuah karya yang secara insidental tercipta hanya
beberapa menit.
Marilah
kita mengingat puisi ‘Aku’nya karya Chairil Anwar. Lalu perhatikan, bahwa karya
tersebut adalah murni lahir menunjukan siapa si pengarang. Apalagi hal itu, hampir
dilakukan oleh setiap pengarang saat melakukan proses penulisan. Kemudian, kenapa
sampai sekarang puisi tersebut masih terus meregenerasi bagi pembaca untuk kembali
dan kembali takjub oleh karenanya?
Pertayaannya;
Apakah puisi tersebut sudah masuk ke ranah fenomenal? Lalu, bagaimana dengan penyair
di abad sekarang ini? Dapatkah melahirkan sebuah karya yang fenomenal seperti
penyair – penyair sebelumnya?
Sebagai
catatan: mampukah diri kita yang mengaku / sebagai penyair dapat melahirkan
ledakan mesiu sebuah karya yang fenomenal?
. Doc: MT.M – 21/MLI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar