Memilih
sesuatu memerlukan kecermatan dan keberanian, serta perhitungan yang njlimet.
Dalam antologi puisinya MT.
Mudjaki memberi nama
kesederhanaan itu adalah suatu pilihan yang dijadikan suatu titik dalam
menentukan bentuk maupun isi, juga makna dalam berproses kreatif mengungkapkan
pengalaman estetisnya melalui media bahasa. Kesederhanaan mungkin maksudnya
mudah dicerna, dipahami. Memang bila kita membaca satu persatu puisi-puisi
hasil goresannya kebanyakan puisinya yang naratif sangat sederhana dalam bentuk
maupun kandungan maknanya, begitu sederhananya kata-kata itu tidak meninggalkan
jejak, akan tetapi banyak juga puisi yang tidak sederhana bila kita masuk ke
dalam wilayah isi dengan meresapi dan menggali makna yang terkandung dalam
puisi-puisinya. Puisi-puisinya yang menurut pakar sastra dalam penggolongan
jenis puisi; tergolong puisi sufistik, walaupun ditulis dengan bahasa sederhana
namun mengandung nilai intrinsic yang begitu padat dan dalam.
Dalam
kesederhanaan MT. Mudjaki, ada puisi (menurut tangkapan saya) lahir begitu
saja. Sederhana, mengalir tanpa riak gelombang yang menimbulkan aspek kejut
jadi bikin nglangut, tetapi banyak juga puisi yang lahir melalui proses panjang
dari gagasan diendapkan dalam rasanya lalu dikawinkan dengan teknik dan
kaidah-kaidah penulisan puisi yang secara tidak langsung didapatkan dalam
pergaulan kepenyairannya.
Konon menurut
para pakar sastra puisi yang baik adalah yang kreatif (kebaruan), diksi yang
digunakan adalah yang terpilih untuk mewakili ekspresi jiwanya, metaforis dan
multi interpretasi (meluas), memberikan ruang yang luas bagi imajinasi
pembacanya. Sedangkan, menulis yang berhasil katanya adalah apabila terjadi transfer of feeling, ada pemindahan
perasaan. Itu kata pakar. Tetapi berekspresi seni adalah wilayah kemerdekaan,
mau melukis mangga, pisang, jambu atau pemandangan sokarajaan atau dekoratifnya
Bali yang gampang dicerna (malah kadang tidak perlu dicerna) monggo, mau yang
ekspresif, surealis, abstrak juga silahkan, mau bikin lagu cucak rowo, jazz,
Kitaro, Kenny G, Didi Kempot, Narto Sabdo silahkan. Karena, masing-masing punya
wilayah dan apresiasinya sendiri, yang terpenting adalah keberanian untuk
memilih dan terus menjaga eksistensinya.
Wilayah
kemerdakaan panglimanya adalah rasa. Puisi-puisi MT. Mudjaki
telah mewakili jiwanya, menjadi curahan jiwanya bila mau menapak lebih jauh
lagi menjadi curahan rasa yang melalui “Rohso” yang akan menjadi perbawa dan
dapat ditangkap oleh pembacanya. Sebuah pertanyaan yang mengendap dalam diri
saya, apakah sejujurnya sederhana benar-benar telah menjadi pilihan dalam
melahirkan “anak-anak jiwanya”?? hanya MT.
Mudjaki yang tahu dan tak ada seorangpun yang bisa menyalahkannya. Tapi, hidup
berubah dan milyaran kata-kata siap untuk dipetik di langit imajinasi kita.
Mari kita nikmati kesederhanaan yang tidak sederhana yang kita kira.
.Sanggar Pintu Kosong Banjarnegara, 2 Juli 2009
( Drs. Drajat Nurangkoso,
Sekretaris Dewan Kesenian Kab. Banjarnegara )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar