Oleh: MT.Mudjaki
Menelisik hasil ivestivigasi dilapangan pada Selasa (12/01/2016) lalu, sejak
adanya/diterbitkan aturan kebijakan UU Tapera dari pemerintah tentang hal menyangkut
persoalan adanya kasus perumahan bersubsidi bagi ‘Masyarakat Berpenghasilan
Rendah’ (MBR) sangatlah komplek. Mulai dari pendataan administrasi, status
peruntukannya tidak tepat sasaran, dan batas minimal/maksimal itimasi nilai jangka
penyertaan biaya angsuran. Serta tata aturan batas perubahan/penambahan
bangunan perumahan bersubsidi bagi MBR setelah mendapatkan rumah tersebut.
Dari hal itu, banyak
masyarakat yang terjebak, dan bahkan tertipu. Salahsatunya dalam soal pengambilan
kredit perumahan bersubsidi. Dimana ketika dalam pengambilan perumahan itu,
taruh aja dengan harga chase totalnya sebesar Rp.100jt. Kemudian masyarakat yang
mengambil rumah tersebut tidak bisa mengambil (beli) secara chase, namun secara
kredit. Maka pihak devloper (khususnya dari Marketing Devloper, red) bisa/akan
membantu proses untuk mendapatkan rumah, dengan syarat ditentukan harus
membayar uang tanda jadi semisal Rp.1jt, lalu ditentukan besaran uang muka
semisal sebesar Rp.20jt, (entah harus dilunasi/chase, atau dicicil).
Selanjutnya kekurangan/sisa harga dari rumah pokok Rp.100jt akan dilanjutkan melalui
kesepakatan proses KPR disalahsatu Bank yang ditujuk nantinya agar di acc.
Namun, jika yang
mengambil rumah tersebut telah membayar uang muka, taruh saja sudah masuk 17
juta termasuk uang tanda jadi. Tetapi selang jeda waktu; dikemudian hari
terjadi penolakan, yang katanya dari pihak analisis Bank, maka yang terjadi untuk uang tanda jadi tersebut akan/bisa hilang.
Adapun untuk uang muka bisa/akan dikembalikan dengan catatan kena potongan;
alasan proses biaya administrasi.
Dari hal tersebut
diatas merupakan indikasi modus penipuan, yakni; mencari celah pengolahan nilai
keuntungan dari uang tanda jadi+pemotongan uang muka. Dan dari nilai keuntungan
tersebut, jika semisal ada sekitar 10 orang yang mengambil perumahan itu
mengalami hal semacam itu, berapa banyak keuntungannya. Belum lagi ditambah
dari uang muka orang yang mengambil rumah tersebut dalam proses di bank memakan
waktu dalam jangka semisalnya minimal 1 bln, dan ditaruh/disimpan di bank;
berapa banyak keuntungan bunga banknya.
Dan yang lebih tragis
dan ironisnya, adanya pembatalan tanda jadi kesepakatan rumah awal bersubsidi,
namun kemudian dialihkan ke rumah yang lain non subsidi dengan/ada tambahan
biaya lagi, atau manakala uang tanda jadi+uang muka belum dilaporkan/disetorkan
ke pihak KPR bank.
Menilik contoh salahsatu
kasus tersebut diatas perlu untuk diwaspadai, dikaji dan diteliti lebih lanjut.
Bahkan bila perlu diselidiki lebih mendalam, dan jika ada yang terindikasi
menyalahi; berketetapan hukum tentunya harus ditindak lebih tegas.Sebab jangan
sampai pihak MBR yang menginginkan rumah dirugikan, dan bahkan tidak
mendapatkan rumah sama sekali.
Disamping itu
juga guna mengatisipasi adanya pihak-pihak oknum yang memainkan kebijakan kemudahan/bantuan
dari pemerintah tentang rumah
bersubsidi bagi MBR. Serta sekaligus
mengatasi dan menggerus kesenjangan (backlog) akan ketersediaan rumah murah. Terutama para ‘Masyarakat
Berpenghasilan Tinggi’ (MBT) yang hanya berinvestasi cari keuntungan, atau alih
fungsi nama dari pengajuan tidak mampu/MBR pada realita dilapangan ternyata lebih
mampu.
Karena bagaimanapun juga, diketahui bahwa kebijakan pemerintah yang telah menetapkan UU
tapera sangatlah jelas, yakni; menyediakan hunian
rumah yang layak huni, sehat namun harganya terjangkau sesuai
penghasilan masyarakat menengah ke bawah, dan tentunya harus tepat
sasaran khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
.Doc:
MTM/GM Network Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar