Jakarta - Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi
Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan, pada dasarnya muara dari seluruh
praktek mafia dalam pengelolaan migas adalah kebocoran, korupsi dan intervensi
kekuasaan. Akibatnya, berpindahlah kekayaan rakyat ke tangan sindikat dan
mafia. Dan ini merupakan sebuah bentuk pengingkaran kedaulatan rakyat.
Selanjutnya ia menuturkan, nilai perdagangan bahan bakar minyak di Indonesia untuk kebutuhan industri, transportasi dan rumah tangga. Baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi mencapai Rp 286,7 trilun yang terdiri dari konsumsi premium dan solar.
"Dari data data tersebut secara garis besar transaksi dalam migas oleh berbagai level dan pelaku yang bermain dalam industri ini sedikitnya senilai Rp 2.700 triliun. Fragmentasi dalam pengelolaan migas yang terpecah dari hulu sampai ke hilir akan menjadi ruang bagi bermainya sindikat dan mafia," kata Salamuddin kepada wartawan, Jumat (12/09/2014).
Dan akibatnya, ada ruang bagi para sindikat dan mafia dilakukan pemerintah dan DPR yang sebagian terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam industri migas. Menurutnya, para pengambil kebijakan secara terus menerus memproduksi kebijakan dalam rangka memaksimalkan profit yang dapat diperoleh sindikat dalam pengelolaan migas.
"Para kontraktor swasta akan melakukan berbagai macam upaya dalam memanipulasi produksi, dana 'cost recovery' dalam rangka memaksimalkan penerimaan mereka," katanya.
Kemudian Salamuddin berpendapat, lemahnya kontrol negara menyebabkan perusahaan-perusahaan swasta dapat dengan sangat ekslusive menjalankan bisnis mereka dan jauh dari kontrol masyarakat. Ironisnya, masih kata Salamuddin, aparat negara mulai dari yang berada pada institusi penyelenggara migas, hingga aparat penegak hukum, justru menjadikan seluruh pelanggaran, kecurangan, manipulasi dan pelanggaran hukum yang dilakukan kontraktor dan pelaku usaha migas mulai dari hulu sampai ke hilir sebagai ajang pemerasan.
"Sementara rakyat secara terus menerus harus membayar mahal harga minyak dan gas yang terus naik. Hal itu dibayar atas hilangnya kedaualatan rakyat atas kekayaan alam dan harga atas penyerahan diri pada kekuasaan para mafia dan sindikat yang mengontrol politik dan pemerintahan," katanya.
Sedangkan transaksi dihulu melibatkan 850 ribu barel minyak per hari atau senilai Rp 1,6 triliun sehari atau sebesar Rp. 387,6 triliun setahun Menurutnya Indonesia melakukan ekspor minyak senilai 455,000 bbl/d dengan nilai transaksi mencapai Rp 207,5 Triliun setahun. Sementara itu juga mengimpor mencapai 506,000 bbl/d dengan nilai transaksi sebesar Rp. 230,7 triliun setahun (survey EIA 2013).
"Sementara data BPS nilai impor minyak 2013 sebesar 42,14 miliar dolar AS atau Rp 501,4 triliun. Pertamina sendiri sebagai BUMN yang diberi hak mengelola minyak bagian Negara yang diserahkan oleh kontraktor swasta dan produksi pertamina sendiri serta usaha usaha lainnya pertamina dengan 'revenue' 71,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 846,1 triliun," paparannya.
Dijelaskan Salamuddin, negara juga membiayai 'cost recovery' untuk menggantikan seluruh biaya operasional yang dikeluarkan perusahaan minyak senilai 16,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 196,3 triliun.
Sementara berdasarkan sumber survei BPS, ia mengungkapkan nilai produksi gas nasional sebesar mencapai 1,517 juta barel setara minyak per hari (ESDM, 2013) atau senilai Rp 270.6 triliun. Ditambah dengan nilai ekspor gas nasional senilai 18,129 miliar dolar AS atau mencapai Rp 220,1 trilun (survey BPS, 2013) dan Impor gas senilai 3,113 miliar dolar AS atau sekitar Rp 37,24 triliun.
Selanjutnya ia menuturkan, nilai perdagangan bahan bakar minyak di Indonesia untuk kebutuhan industri, transportasi dan rumah tangga. Baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi mencapai Rp 286,7 trilun yang terdiri dari konsumsi premium dan solar.
"Dari data data tersebut secara garis besar transaksi dalam migas oleh berbagai level dan pelaku yang bermain dalam industri ini sedikitnya senilai Rp 2.700 triliun. Fragmentasi dalam pengelolaan migas yang terpecah dari hulu sampai ke hilir akan menjadi ruang bagi bermainya sindikat dan mafia," kata Salamuddin kepada wartawan, Jumat (12/09/2014).
Dan akibatnya, ada ruang bagi para sindikat dan mafia dilakukan pemerintah dan DPR yang sebagian terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam industri migas. Menurutnya, para pengambil kebijakan secara terus menerus memproduksi kebijakan dalam rangka memaksimalkan profit yang dapat diperoleh sindikat dalam pengelolaan migas.
"Para kontraktor swasta akan melakukan berbagai macam upaya dalam memanipulasi produksi, dana 'cost recovery' dalam rangka memaksimalkan penerimaan mereka," katanya.
Kemudian Salamuddin berpendapat, lemahnya kontrol negara menyebabkan perusahaan-perusahaan swasta dapat dengan sangat ekslusive menjalankan bisnis mereka dan jauh dari kontrol masyarakat. Ironisnya, masih kata Salamuddin, aparat negara mulai dari yang berada pada institusi penyelenggara migas, hingga aparat penegak hukum, justru menjadikan seluruh pelanggaran, kecurangan, manipulasi dan pelanggaran hukum yang dilakukan kontraktor dan pelaku usaha migas mulai dari hulu sampai ke hilir sebagai ajang pemerasan.
"Sementara rakyat secara terus menerus harus membayar mahal harga minyak dan gas yang terus naik. Hal itu dibayar atas hilangnya kedaualatan rakyat atas kekayaan alam dan harga atas penyerahan diri pada kekuasaan para mafia dan sindikat yang mengontrol politik dan pemerintahan," katanya.
Sedangkan transaksi dihulu melibatkan 850 ribu barel minyak per hari atau senilai Rp 1,6 triliun sehari atau sebesar Rp. 387,6 triliun setahun Menurutnya Indonesia melakukan ekspor minyak senilai 455,000 bbl/d dengan nilai transaksi mencapai Rp 207,5 Triliun setahun. Sementara itu juga mengimpor mencapai 506,000 bbl/d dengan nilai transaksi sebesar Rp. 230,7 triliun setahun (survey EIA 2013).
"Sementara data BPS nilai impor minyak 2013 sebesar 42,14 miliar dolar AS atau Rp 501,4 triliun. Pertamina sendiri sebagai BUMN yang diberi hak mengelola minyak bagian Negara yang diserahkan oleh kontraktor swasta dan produksi pertamina sendiri serta usaha usaha lainnya pertamina dengan 'revenue' 71,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 846,1 triliun," paparannya.
Dijelaskan Salamuddin, negara juga membiayai 'cost recovery' untuk menggantikan seluruh biaya operasional yang dikeluarkan perusahaan minyak senilai 16,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 196,3 triliun.
Sementara berdasarkan sumber survei BPS, ia mengungkapkan nilai produksi gas nasional sebesar mencapai 1,517 juta barel setara minyak per hari (ESDM, 2013) atau senilai Rp 270.6 triliun. Ditambah dengan nilai ekspor gas nasional senilai 18,129 miliar dolar AS atau mencapai Rp 220,1 trilun (survey BPS, 2013) dan Impor gas senilai 3,113 miliar dolar AS atau sekitar Rp 37,24 triliun.
.Ant/Rep/JMP.21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar