JAKARTA - Direktur
eksekutif Poll Tracking Institute, Hanta Yudha menilai, presiden terpilih
Jokowi akan tersandera dirinya sendiri dalam menjalankan pemerintahannya ke
depan
"Jadi, janji-janjinya yang meleset itulah yang akan menyandera dirinya sendiri sebagai presiden. Seharusnya, dia berani membuktikan janji-janjinya, tentu dengan segala konsekuensinya. Tapi, faktanya meleset," kata Yudha di gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (18/09/2014).
Kemudian ia menjelaskan yang dia maksud itu, tentang Jokowi akan tersandera dalam usaha memenuhi janji-janjinya selama kampanye Pemilu Presiden selama ini. Misalnya, Jokowi menjanjikan kabinet ramping, menteri tidak boleh rangkap jabatan parpol, dan koalisi tanpa syarat, atau tanpa bagi-bagi kekuasaan. Namun dalam perjalanan fakta politik sampai saat ini semuanya meleset.
"Jadi, janji-janjinya yang meleset itulah yang akan menyandera dirinya sendiri sebagai presiden. Seharusnya, dia berani membuktikan janji-janjinya, tentu dengan segala konsekuensinya. Tapi, faktanya meleset," kata Yudha di gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (18/09/2014).
Kemudian ia menjelaskan yang dia maksud itu, tentang Jokowi akan tersandera dalam usaha memenuhi janji-janjinya selama kampanye Pemilu Presiden selama ini. Misalnya, Jokowi menjanjikan kabinet ramping, menteri tidak boleh rangkap jabatan parpol, dan koalisi tanpa syarat, atau tanpa bagi-bagi kekuasaan. Namun dalam perjalanan fakta politik sampai saat ini semuanya meleset.
Selanjutnya Yudha sendiri mengakui, bahkan sebelum dilantik pada 20 Oktober sulit menemui kebaruan dari Jokowi. Karena itu Yudha menyarankan, Jokowi diimbangi wakil presiden terpilih, Jusuf Kalla.
"Hanya saja di internal Jokowi ada yang berusaha menghambat langkah JK. Padahal, kalau perlu tambahan kekuatan DPR, JK bisa turun gunung. Misalnya mendekati PPP, Golkar, Demokrat, dan lainnya," katanya.
Disamping itu Yudha menilai ada kerentanan politik di internal Jokowi sendiri, yang bisa mengganggu efektifitas pemerintahan. Semestinya, kata dia, harus dilakukan perbaikan sistem. Sebab, sistem yang baik dengan presiden yang lemah akan membuat pemerintahan juga tidak efektif, dan sebaliknya.
"Presiden yang kuat seperti SBY dengan sistem yang buruk, maka akan seperti sekarang ini. Dalam demokrasi keduanya harus kuat," katanya menambahkan.
Kalau keduanya lemah, lanjut dia, maka pemerintahan Jokowi akan mudah goyang oleh politik, dan sulit bisa bekerja efektif. "Memang selama tidak melanggar hukum, etika, makar, dan pengkhianatan pada negara, dan tetap berpihak kepada rakyat, maka presiden tak bisa dimakzulkan," kata dia.
"Tapi, kalau pemerintahannya tidak efektif, terus saja digoyang, maka tak bisa kerja untuk negara," katanya.
Menurut dia, setidaknya ada tiga momentum politik yang akan terjadi dalam beberapa pekan ke depan, yaitu pengesahan RUU Pilkada pada 25 September, pemilihan pimpinan DPR, dan susunan kabinet Jokowi-JK.
"Dalam tiga momentum itu akan terjadi dinamika politik. Misalnya bisa saja ada partai Koalisi Merah Putih (KMP) berubah mendukung Jokowi-JK, dan itulah kerentatan dari KMP sendiri. Serta, kalau Demokrat dukung Jokowi (287 kursi), dan KMP (273 kursi) DPR. RUU Pilkada divoting, maka Jokowi bisa menang. Tapi, kita tunggu saja segala kemungkinan masih akan terjadi," jelasnya.
.Ant/Dtk/Rep/J@21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar