Gorontalo
- Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, nilai tukar rupiah yang saat ini berada diatas
Rp11.500 per dolar AS sudah mengalami gejolak yang lebih besar dari fundamental
yang seharusnya atau overshoot.
"Kalau rupiah melebihi Rp11.500 itu sudah overshoot," katanya saat melakukan kunjungan di Gorontalo, Minggu,(01/12/2013).
Mirza menjelaskan lebih lanjut, saat ini nilai rupiah terhadap dolar AS yang sesuai dengan kondisi perekonomian nasional adalah sebesar Rp11.000-Rp11.500 per dolar AS. Namun karena rupiah pada level tersebut, tentunya dapat membuat ekspor lebih kompetitif.
"Level ini sudah cocok untuk membenahi problem di neraca pembayaran, karena level itu cukup untuk menekan impor turun dan ekspor lebih kompetitif," katanya.
Ia menambahkan, bahwa peningkatan nilai ekspor dan pengurangan nilai impor dapat menipiskan defisit transaksi yang sudah berjalan selama 26 bulan. Dan berada pada kisaran 2,5 persen terhadap PDB pada 2014.
"Angka yang seharusnya itu dibawah 2,5 persen, kita bukan mau membuat surplus, tapi defisit transaksi berjalan yang lebih wajar dari kondisi saat ini," jelas Mirza.
Defisit transaksi berjalan telah menyusut dari sebelumnya 4,4 persen terhadap PDB (9,9 miliar dolar AS) pada triwulan II-2013 menjadi 3,8 persen terhadap PDB (8,4 miliar dolar AS) pada triwulan III, serta diperkirakan mencapai 3,5 persen terhadap PDB pada akhir tahun.
Mirza menambahkan lagi, salah satu faktor yang menyebabkan pelemahan nilai rupiah saat ini adalah akibat kekhawatiran pelaku pasar terkait kemungkinan "tapering off" oleh The Fed (Bank Sentral AS).
Menurut dia, stimulus moneter atau Quantitative Easing yang dilakukan The Fed sejak akhir 2008, membuat rupiah bertahan dalam posisi Rp9.600-an per dolar AS selama beberapa tahun terakhir.
"Nilai kurs pada 2011-2012 tidak melemah, padahal kondisi rasio makro ekonomi waktu itu mulai memburuk, tapi inflow masuk karena stimulus di AS. Sekarang begitu mau tapering, semua beramai-ramai menarik bonds," ujarnya.
Selanjutnya Mirza menambahkan, volatilitas nilai kurs merupakan hal yang wajar, dan rupiah yang telah mendekati nilai Rp12.000 per dolar AS dapat kembali ke level Rp11.000 per dolar AS, apabila masalah dalam neraca transaksi berjalan teratasi.
"Kembali ke Rp11.000 bukan tidak mungkin, kalau rasio makro ekonomi sudah sehat," jelasnya.
Mata uang rupiah terhadap dolar AS, Jumat sore, (29/11/2013), kembali berada di area positif atau menguat ke posisi Rp11.965 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp12.027 per dolar AS, meski dibayangi isu defisit neraca transaksi berjalan Indonesia.
"Kalau rupiah melebihi Rp11.500 itu sudah overshoot," katanya saat melakukan kunjungan di Gorontalo, Minggu,(01/12/2013).
Mirza menjelaskan lebih lanjut, saat ini nilai rupiah terhadap dolar AS yang sesuai dengan kondisi perekonomian nasional adalah sebesar Rp11.000-Rp11.500 per dolar AS. Namun karena rupiah pada level tersebut, tentunya dapat membuat ekspor lebih kompetitif.
"Level ini sudah cocok untuk membenahi problem di neraca pembayaran, karena level itu cukup untuk menekan impor turun dan ekspor lebih kompetitif," katanya.
Ia menambahkan, bahwa peningkatan nilai ekspor dan pengurangan nilai impor dapat menipiskan defisit transaksi yang sudah berjalan selama 26 bulan. Dan berada pada kisaran 2,5 persen terhadap PDB pada 2014.
"Angka yang seharusnya itu dibawah 2,5 persen, kita bukan mau membuat surplus, tapi defisit transaksi berjalan yang lebih wajar dari kondisi saat ini," jelas Mirza.
Defisit transaksi berjalan telah menyusut dari sebelumnya 4,4 persen terhadap PDB (9,9 miliar dolar AS) pada triwulan II-2013 menjadi 3,8 persen terhadap PDB (8,4 miliar dolar AS) pada triwulan III, serta diperkirakan mencapai 3,5 persen terhadap PDB pada akhir tahun.
Mirza menambahkan lagi, salah satu faktor yang menyebabkan pelemahan nilai rupiah saat ini adalah akibat kekhawatiran pelaku pasar terkait kemungkinan "tapering off" oleh The Fed (Bank Sentral AS).
Menurut dia, stimulus moneter atau Quantitative Easing yang dilakukan The Fed sejak akhir 2008, membuat rupiah bertahan dalam posisi Rp9.600-an per dolar AS selama beberapa tahun terakhir.
"Nilai kurs pada 2011-2012 tidak melemah, padahal kondisi rasio makro ekonomi waktu itu mulai memburuk, tapi inflow masuk karena stimulus di AS. Sekarang begitu mau tapering, semua beramai-ramai menarik bonds," ujarnya.
Selanjutnya Mirza menambahkan, volatilitas nilai kurs merupakan hal yang wajar, dan rupiah yang telah mendekati nilai Rp12.000 per dolar AS dapat kembali ke level Rp11.000 per dolar AS, apabila masalah dalam neraca transaksi berjalan teratasi.
"Kembali ke Rp11.000 bukan tidak mungkin, kalau rasio makro ekonomi sudah sehat," jelasnya.
Mata uang rupiah terhadap dolar AS, Jumat sore, (29/11/2013), kembali berada di area positif atau menguat ke posisi Rp11.965 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp12.027 per dolar AS, meski dibayangi isu defisit neraca transaksi berjalan Indonesia.
.LIND@Ant/Rep/J.21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar