Jumat, 21 Oktober 2016

Terdakwa Diah Ayu K, Pegawai BTPN Di Vonis 9 Tahun Penjara


Semarang - Ketua majelis hakim Antonius Widjantono telah menjatuhkan vonis 9 tahun pada terdakwa Diah Ayu Kusumaningrum yang telah terbukti bersalah melakukan tindakan korupsi dan pemberian secara langsung (suap, red). Hal ini sesuai pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Serta terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b pada UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, Jumat (21/10/16) di Pengadilan Tipikor Semarang.


“Disamping vonis putusan 9 tahun bagi terdakwa tersebut, juga dijatuhi putusan pidana denda sebesar Rp. 100 juta," kata Antonius dalam amar putusannya.

Selanjutnya Hakim Antonius menjelaskan, atas tindakan terdakwa tersebut, total kerugian Negara mencapai Rp. 21,7 miliar. Dari kerugian Negara itu, terdakwa Diah Ayu tidak hanya melakukan tindakan korupsi saja. Namun juga melakukan tindakan menyuap terhadap Pejabat, yakni mantan Kepala UPTD Kasda pada DPKAD Kota Semarang, R Doddy Kristiyanto dan Suhantoro.

“Dan hal itu dilakukan oleh terdakwa sebanyak enam kali memberikan uang ke Suhantoro sebesar sekitar Rp 152 juta, sejak penarikan dana kasda awal 2014,” tambahnya.

Disamping itu, Jumlah dari hal tersebut kemudian gratifikasi yang diberikan kepada Suhantoro (mantan kepala UPTD Kasda Pemkot. Semarang, red) dikurangkan dengan total kerugian negara. Sehingga kerugian yang harus ditanggung terdakwa sebesar Rp 21,5 miliar," jelasnya.

Kemudian Antonius menambahkan, dari denda itu harus dibayar oleh terdakwa paling lambat satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Tetapi jika tidak dibayar, maka akan disita asetnya. Dan manakala tetap tidak mencukupi, akan diganti pidana penjara selama 3 tahun.


.Doc: MTM/GDN/Hms/Media Network Jateng.

Senin, 17 Oktober 2016

Akibat Muatan Terlalu Berat, Truk Dam BG 8601 UC Terbalik hantam Pengendara Motor Hingga Tewas

Kajangan – Telah terjadi laka tunggal akibat beban muatan tanah terlalu berat, Truk Dam Nopol BG 8601 UC terbalik dan menghantam pengendara motor hingga tewas, Senini (17/10/16) Sore.

Adapun kejadiannya kecelakan tersebut didaerah tanjakan jalan raya Kalirejo, Desa Kajangan, Ungaran Timur - Kab. Semarang.

Menurut saksi mata, Paimin (50)mengatakan, waktu itu truk dalam keadaan menanjak naik, namun posisinya tidak kuat akhir oleng dan terguling kesamping dan akhirnya menghantam pengendara sepeda motor Vega Nopol H 3757 TV.

“Karena tidak kuat menanjak, dan beban muatannya terlalu berat, truk tersebut oleng hingga terbalik. Dan tiba-tiba dari arah samping belakang ada pengendara motor, hingga akhirnya menabrak si pengendara motor tewas ditempat,” penuturannya pada wartawan Network Jateng.

Sementara korban pengendara motor diketahui, satu orang tewas dan yang satunya mengalami luka-luka parah, dengan posisi berboncengan.

Selanjutnya saksi mata menambahkan, dari kecelakan tersebut, dan tahu kalau ada korban tewas, si pengemudi langsung turun dan melarikan diri ke polres setempat untuk menyerahkan diri.

Atas peristiwa tersebut, korban ditangani langsung dari pihak aparat kepolisian Satlantas kab. Semarang, dan dilarikan kerumah sakit.


.Doc: MTM/GDN/Media Network Jateng.

Komunitas Sastra Pena Ambarawa Adakan Bedah Buku 35 Hari Desa Kabut

Ambarawa – Dalam menunjukan eksistensi pada dunia satra, komunitas sastra Pena Ambarawa mengadakan bedah buku novel “35 Hari Desa Kabut” karya kolaborasi Lili Permata dan Dessy Php, Minggu (16/10/16) pukul 09.30 WIB.

Bedah buku tersebut di hadiri seorang pengamat dan sekaligus pembedah karya sastra, Hany Panjaitan, penulis buku novel tersebut, pemerhati dan para pegiat sastra komunitas setempat.

Sementara sebelum dilakukan acara bedah buku, menurut salahsatu penulis buku novel 35 Hari Desa Kabut, Dessy Php mengatakan, bahwa buku ini merupakan karya kolaborasi yang terinpirasi atas suasana desa dan kehidupannya. Dan merupakan bagian perjalanan sewaktu KKN yang dekat dengan seseorang anak kepala desa desa setempat yang kebetulan senang menulis.
“Jadi ide ataupun gagasannya, sewaktu saya KKN didesa dengan suasana sejuk dan berkabut. Kebetulan pada KKN ditampung di rumah pak Kades, dan dekat dengan salahsatu anaknya, yakni Lili Permata yang kebetulan anaknya suka menulis,” tuturnya.


Adapun dalam sesi bedah buku, pengamat dan sekaligus pembedah karya sastra setempat, Hany Panjaitan menguraikan, pada dasarnya karya ini cukup bagus dilihat dari sudut ide maupun gagasannya. Namun jika dilihat lebih mendalam perlu perbaikan-perbaikan, yakni dari antara judul dengan cover wajah buku, selanjutnya dari isi alur jalan ceritanya, serta kandungan kontekstual yang belum mengena daya romantisnya dan greget bagi pembaca.

“Oleh karena itu, buku ini secara aktualisasi, konseptual dan tektualnya, baik redaksionalnya, isi alur jalan cerita dan kandungannya perlu pebaikan-perbaikan lebih mendalam,” terang Hany pada Jurnalis Network Jateng tersenyum.

Selanjutnya, hany menambahkan, meski demikian, novel karya kolaborasi Lili Permata Dan Dessy Php perlu kita apresiasikan cukup berani, telah mampu menulis dan menerbitkan.

Dan untuk acara bedah buku ini titik puncak heroik klimaknya, ditindaklanjuti dengan sesi interaktif Tanya jawab dengan para pemerhati dan juga para pegiat yang hadir.

.Doc: MTM/GDN/ media Network Jateng.


Sabtu, 08 Oktober 2016

Rajawali Sayap Merah, Satu Lingkar Awan Biru Gunung Tidar

Lihatlah puncak gunung menjulang tinggi…
Perkasa menaungi hamparan keteduhan dan kedamaian…
Lihat kepak rajawali membentangkan sayapnya…
Terbang gagah bersama nyanyian semesta alam rayaNya…
…………………………………………………………………………………………………………………
Di bawah lereng kaki gunung Tidar dalam naungan langit berkabut awan mendung. Cahaya matahari berselimut memalung diam diharibaan ufuk cakrawala merayu. Sementara disepanjang helaian batas-batas garis hamparan lahan petani yang bersemayan pepohonan berwarna hijau kekuning-kuningan, begitu tumbuh dalam kesuburan, keindahan dan keteduhan. Hingga menjadikan aku terpana dan terkagum….
Namun tanpa aku sadari, ketika mataku memandang disebelah arah, tepatnya pada batas kanan garis hamparan lahan petani tersebut. Terlihat dari ketinggian tebing dinding berkarang tanah bebatuan terjal, tampak dua sosok manusia tengah duduk saling berhadapan pada sebuah beranda rumah kayon bercungkup genting Jawa. Sepertinya…Kedua sosok tersebut sedang membicarakan sesuatu hal yang begitu serius.

Dan kemudian….

"Wahai rajawali sayap merah, lingkar awan biru gunung Tidar....Sesungguhnya aku merasa trenyuh atas diri Sang Begawan Yatsa. Dimana...Dari sekian perjalanan waktu sebuah perubahan yang telah ia lalui dengan perjuangan penuh kesabaran, selalu saja dikhianati, dihasut, difitnah, dan dipecundangi oleh orang terdekatnya yang telah diberi kepercayaan darinya. Untuk itu, kumohon jaga dan selamatkan diri Sang Begawan Yatsa dan keluarganya dari hal-hal orang tersebut," penuturan Sang Begawandhinata sambil menatap langit yang semakin lama gelap.

“Ya tentunya kangmas…Sebab bagaimanapun juga, diri Sang Begawan Yatsa merupakan satu kesatuan, bagian juga dari diriku. Seperti halnya aku dengan panjenengan, kangmas…,” jawab rajawali sayap merah, lingkar awan biru gunung Tidar.

Selanjutnya…Sambil menghela nafas dengan seulas senyum, rajawali sayap merah melanjutkan perkataannya….

“Bukankah kangmas lebih tau dan banyak telah mendengar atas sepak terjangku….Manakala dalam setiap kancah pertempuran, masa perubahan, hingga dalam percaturan politik demi kebaikan dan keselamatan masa depan Negeri ini, aku senantiasa membayangi ada untuk dirinya. Meskipun diantara aku dan dirinya berbeda dalam bendera. Namun...Pada dasarnya aku dan dirinya, merupakan satu garis cakrabuana diantara dua sayap rajawali,”

“Hmmm..ya, aku tau…Maka dari itu, dirimu aku undang datang kesini untuk membicarakan atas apa yang kurasakan dalam kekawatiran atas diri Sang Begawan Yatsa dan keluarganya. Karena hal ini menyangkut harga diri dan demi masa depan bangsa negri ini. Apalagi kau tau…Bukankah dengan keadaan diriku yang sekarang ini, ditambah berada ditempat yang sudah jauh dengannya, dan tak mungkin untuk bisa bertemu lagi dengan dirinya…Tidak seperti masa dulu, dimana ketika aku, kau dan dirinya masih bersama dalam satu tempat ruang lingkup disini…,”

“Iya, saya mengerti dan bisa memahami akan hal ini…Oleh karena itu, pada saat aku pulang nanti ke Batavia, apa yang kangmas rasakan dalam kekawatiran pada dirinya, akan aku sampaikan kepadanya…,”

“Terima kasih sahabat…Oh, ya…Ngomong-ngomong, kapan dirimu pulang ke Batavia?...

“Dikondisikan besok pagi, pada saat cahaya fajar menyingsing digaris ufuk cakrawala…,”

“Jika demikian, nanti aku titip sekalian surat wasiat untuknya…,”

“Baiklah, kangmas…Tapi surat wasiat apakah itu kangmas?..,”

“Sebentar kuambilkan, dan nanti engkau boleh membacanya…,”

Kemudian Sang Begawandhinata berdiri bangkit, dan berlalu masuk kedalam ruang. Selang beberapa jam kemudian diri Sang Begawandhinata datang dengan membawa selonsong gulungan berwarna merah, dengan renda-renda benang bermotif bunga emas.

“Inilah surat wasiat dariku…Coba bukalah dan bacalah…,”

Lalu Sang Begawandhinata memberikan selonsong gulungan berwarna merah, dengan renda-renda benang motif bunga emas itu pada diri rajawali sayap merah, dan kemudian…

Sementara itu langit diatas gunung Tidar terlihat sudah mulai terasa semakin pekat dan gelap. Sepertinya, sebentar lagi cuaca akan berubah turun hujan. Dan akupun harus cepat-cepat bergerak mundur, meninggalkan kedua sosok tersebut. Hingga aku tak dapat melanjutkan atas alur cerita dari perbincangan mereka berdua selanjutnya…


***
.Doc. Cerpen: MTM-1996

“Ombak Jerit tangis Jelata Tanah Leluhur”

Siang berkalung jelajah awan panas, dibawah pijar cahaya mata langit yang menyengat, aku melihat seorang ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut, tengah bersandar disebuah tembok bekas jejak rumah yang baru saja tergusur. Kurasakan…Tampak wajah tatapan matanya begitu sayu berkatup meredup, dengan dahi berlekat keriput, berkayuh keringat mengalir  cahaya kaca kusam. Sepertinya, dirinya kelelahan…Atau mungkin, sedang merenda redam dalam kesedihan yang teramat menyakitkan.

Sementara diseberang jalan yang tidak begitu jauh, yakni kurang lebihnya 200 meter dari batas mata samping kameraku. Tampak beberapa orang begitu sibuk mengumpulkan barang-barang  yang tersisa dan tertinggal. Baik itu berupa papan-papan kayu, pilar-pilar besi maupun perabotan rumah tangga.
Lalu…Sayup-sayup kudengar suara dari salah satu bilik kamar yang telah rapuh setengah dindingnya, tepatnya berjarak sekitar tujuh meter samping tembok tempat ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut yang tengah bersandar tersebut, sedang mengerang jerit tangis penuh sayatan kata-kata cacian, serta doa-doa sumpah serapah yang tak terbatas tanda baca alur akhir kalimatnya.
Adapun suara itu….

“Anjing!!..Biadab!!...Dan laknat!!...Tanah ini tanah leluhurku….Yang diturunkan atas keturunannya, dan diperoleh dari hasil keringatnya sendiri…Namun, kenapa engkau merampas dan menggusurku…? Dan kusumpahi kalian akan menemui kesusahan hidup dan mati dalam siksaan…Oh, dasar jiwa mental penjajah!!…,”

Namun…Ada sekilas tubuh tiba-tiba memeluknya, dan berkata…

“Sudahlah ibuku, kita terima saja dan bersabarlah…Bukankah Tuhan Yesus telah mengajarkan diri kita, manakala daya kemampuan dan upaya usaha kita sudah direbut paksa, dan kita sudah tidak dapat mampu menghalau dan mengatasinya, maka lebih baik kita mengalah dan menyingkir. Dan yakinlah, Bapa Allah tidak akan menutup mata hatiNya dan kuasaNya atas kejadian hal ini.”

“Tapi anakku…Aku belum bisa menerima atas hal ini. Apalagi kau tau, rumah ini satu-satunya rumah peninggalan sejarah ayahmu dan juga dari leluhur eyangmu. Dan rumah ini banyak menyimpan kenangan yang begitu indah dan damai...,”

“Aku tau itu ibu…Tapi bagaimanapun juga kita harus merelakannya, dan mau menerima kenyataan ini. Dari hal ini kita tidak sendirian ibu…Coba ibu lihat itu…Nenek Siti Aminah (ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut, red) tetangga sebelah rumah kita pun juga mengalami hal seperti kita, dan beliaunya ya akhirnya dapat menerimanya dan bersabar, meskipun sangat menyakitkan. Belum lagi ibu Ipah, ibu Parti dan yang lainnya…,”

Kemudian tubuh yang memeluk ibu tersebut perlahan-lahan mengayun-ayunkan pelukannya sambil mendendangkan lagu kidung gereja. Lalu…Selang beberapa jam kemudian, suara jerit tangis itu pelan-pelan mulai menghilang, larut bersama teduhnya nyanyian kidung gereja tersebut.

Dan sementara itu, aku hanya mampu memandang dalam mata keheningan jiwa beningnya langit yang terdalam sambil berguman: “Oh, Jakarta, Oh Batavia, Oh jantungnya negara…Yach, ternyata jalan terjal wajah kehidupan kotamu dari dulu hingga kini masih berlaku geliat ketetapan perubahan keras, beringas, panas dan cadas. Hingga membuat mata nurani telah hilang dan digantikan nilai-nilai lembaran serakah, tamak dan angkuh.”

Lalu…

Tanpa terasa, waktu telah merambah menuju senja hari…Dan sebentar lagi jelang memasuki Maghrib. Maka dari itu, aku harus segera berkemas-kemas diri. Namun…Pada saat aku tengah selesai berkemas-kemas, dan ingin beranjak untuk berlalu…Tak terduga, terlintas mataku menyelinap tatap sejenak pada diri seseorang ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut yang tengah bersandar, demikian juga pada diri seseorang ibu yang tengah mengerang jerit tangisan dalam pelukan anaknya. Sehingga aku merasakan sesuatu hal yang begitu berat dan enggan untuk meninggalkan keadaan mereka. Tetapi dikarenakan aku terpaku pada sebuah tanggungjawab atas pekerjaan dan juga keluarga…Yach, terpaksa…Mau tidak mau aku harus berlalu dan…Pulang…

***

( Kumpulan Antologi Kondomium Opini Cerpenku: ‘Realisme To Reintrospection’)