Sabtu, 08 Oktober 2016

“Ombak Jerit tangis Jelata Tanah Leluhur”

Siang berkalung jelajah awan panas, dibawah pijar cahaya mata langit yang menyengat, aku melihat seorang ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut, tengah bersandar disebuah tembok bekas jejak rumah yang baru saja tergusur. Kurasakan…Tampak wajah tatapan matanya begitu sayu berkatup meredup, dengan dahi berlekat keriput, berkayuh keringat mengalir  cahaya kaca kusam. Sepertinya, dirinya kelelahan…Atau mungkin, sedang merenda redam dalam kesedihan yang teramat menyakitkan.

Sementara diseberang jalan yang tidak begitu jauh, yakni kurang lebihnya 200 meter dari batas mata samping kameraku. Tampak beberapa orang begitu sibuk mengumpulkan barang-barang  yang tersisa dan tertinggal. Baik itu berupa papan-papan kayu, pilar-pilar besi maupun perabotan rumah tangga.
Lalu…Sayup-sayup kudengar suara dari salah satu bilik kamar yang telah rapuh setengah dindingnya, tepatnya berjarak sekitar tujuh meter samping tembok tempat ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut yang tengah bersandar tersebut, sedang mengerang jerit tangis penuh sayatan kata-kata cacian, serta doa-doa sumpah serapah yang tak terbatas tanda baca alur akhir kalimatnya.
Adapun suara itu….

“Anjing!!..Biadab!!...Dan laknat!!...Tanah ini tanah leluhurku….Yang diturunkan atas keturunannya, dan diperoleh dari hasil keringatnya sendiri…Namun, kenapa engkau merampas dan menggusurku…? Dan kusumpahi kalian akan menemui kesusahan hidup dan mati dalam siksaan…Oh, dasar jiwa mental penjajah!!…,”

Namun…Ada sekilas tubuh tiba-tiba memeluknya, dan berkata…

“Sudahlah ibuku, kita terima saja dan bersabarlah…Bukankah Tuhan Yesus telah mengajarkan diri kita, manakala daya kemampuan dan upaya usaha kita sudah direbut paksa, dan kita sudah tidak dapat mampu menghalau dan mengatasinya, maka lebih baik kita mengalah dan menyingkir. Dan yakinlah, Bapa Allah tidak akan menutup mata hatiNya dan kuasaNya atas kejadian hal ini.”

“Tapi anakku…Aku belum bisa menerima atas hal ini. Apalagi kau tau, rumah ini satu-satunya rumah peninggalan sejarah ayahmu dan juga dari leluhur eyangmu. Dan rumah ini banyak menyimpan kenangan yang begitu indah dan damai...,”

“Aku tau itu ibu…Tapi bagaimanapun juga kita harus merelakannya, dan mau menerima kenyataan ini. Dari hal ini kita tidak sendirian ibu…Coba ibu lihat itu…Nenek Siti Aminah (ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut, red) tetangga sebelah rumah kita pun juga mengalami hal seperti kita, dan beliaunya ya akhirnya dapat menerimanya dan bersabar, meskipun sangat menyakitkan. Belum lagi ibu Ipah, ibu Parti dan yang lainnya…,”

Kemudian tubuh yang memeluk ibu tersebut perlahan-lahan mengayun-ayunkan pelukannya sambil mendendangkan lagu kidung gereja. Lalu…Selang beberapa jam kemudian, suara jerit tangis itu pelan-pelan mulai menghilang, larut bersama teduhnya nyanyian kidung gereja tersebut.

Dan sementara itu, aku hanya mampu memandang dalam mata keheningan jiwa beningnya langit yang terdalam sambil berguman: “Oh, Jakarta, Oh Batavia, Oh jantungnya negara…Yach, ternyata jalan terjal wajah kehidupan kotamu dari dulu hingga kini masih berlaku geliat ketetapan perubahan keras, beringas, panas dan cadas. Hingga membuat mata nurani telah hilang dan digantikan nilai-nilai lembaran serakah, tamak dan angkuh.”

Lalu…

Tanpa terasa, waktu telah merambah menuju senja hari…Dan sebentar lagi jelang memasuki Maghrib. Maka dari itu, aku harus segera berkemas-kemas diri. Namun…Pada saat aku tengah selesai berkemas-kemas, dan ingin beranjak untuk berlalu…Tak terduga, terlintas mataku menyelinap tatap sejenak pada diri seseorang ibu tua berkebaya rona uliran kayu kain kusut yang tengah bersandar, demikian juga pada diri seseorang ibu yang tengah mengerang jerit tangisan dalam pelukan anaknya. Sehingga aku merasakan sesuatu hal yang begitu berat dan enggan untuk meninggalkan keadaan mereka. Tetapi dikarenakan aku terpaku pada sebuah tanggungjawab atas pekerjaan dan juga keluarga…Yach, terpaksa…Mau tidak mau aku harus berlalu dan…Pulang…

***

( Kumpulan Antologi Kondomium Opini Cerpenku: ‘Realisme To Reintrospection’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar