Jumat, 12 Oktober 2012

Kesederhanaan Yang Tidak Sederhana


Memilih sesuatu memerlukan kecermatan dan keberanian, serta perhitungan yang njlimet. Dalam antologi puisinya MT. Mudjaki memberi nama kesederhanaan itu adalah suatu pilihan yang dijadikan suatu titik dalam menentukan bentuk maupun isi, juga makna dalam berproses kreatif mengungkapkan pengalaman estetisnya melalui media bahasa. Kesederhanaan mungkin maksudnya mudah dicerna, dipahami. Memang bila kita membaca satu persatu puisi-puisi hasil goresannya kebanyakan puisinya yang naratif sangat sederhana dalam bentuk maupun kandungan maknanya, begitu sederhananya kata-kata itu tidak meninggalkan jejak, akan tetapi banyak juga puisi yang tidak sederhana bila kita masuk ke dalam wilayah isi dengan meresapi dan menggali makna yang terkandung dalam puisi-puisinya. Puisi-puisinya yang menurut pakar sastra dalam penggolongan jenis puisi; tergolong puisi sufistik, walaupun ditulis dengan bahasa sederhana namun mengandung nilai intrinsic yang begitu padat dan dalam.

Dalam kesederhanaan MT. Mudjaki, ada puisi (menurut tangkapan saya) lahir begitu saja. Sederhana, mengalir tanpa riak gelombang yang menimbulkan aspek kejut jadi bikin nglangut, tetapi banyak juga puisi yang lahir melalui proses panjang dari gagasan diendapkan dalam rasanya lalu dikawinkan dengan teknik dan kaidah-kaidah penulisan puisi yang secara tidak langsung didapatkan dalam pergaulan kepenyairannya.

Konon menurut para pakar sastra puisi yang baik adalah yang kreatif (kebaruan), diksi yang digunakan adalah yang terpilih untuk mewakili ekspresi jiwanya, metaforis dan multi interpretasi (meluas), memberikan ruang yang luas bagi imajinasi pembacanya. Sedangkan, menulis yang berhasil katanya adalah apabila terjadi transfer of feeling, ada pemindahan perasaan. Itu kata pakar. Tetapi berekspresi seni adalah wilayah kemerdekaan, mau melukis mangga, pisang, jambu atau pemandangan sokarajaan atau dekoratifnya Bali yang gampang dicerna (malah kadang tidak perlu dicerna) monggo, mau yang ekspresif, surealis, abstrak juga silahkan, mau bikin lagu cucak rowo, jazz, Kitaro, Kenny G, Didi Kempot, Narto Sabdo silahkan. Karena, masing-masing punya wilayah dan apresiasinya sendiri, yang terpenting adalah keberanian untuk memilih dan terus menjaga eksistensinya.

Wilayah kemerdakaan panglimanya adalah rasa. Puisi-puisi MT. Mudjaki telah mewakili jiwanya, menjadi curahan jiwanya bila mau menapak lebih jauh lagi menjadi curahan rasa yang melalui “Rohso” yang akan menjadi perbawa dan dapat ditangkap oleh pembacanya. Sebuah pertanyaan yang mengendap dalam diri saya, apakah sejujurnya sederhana benar-benar telah menjadi pilihan dalam melahirkan “anak-anak jiwanya”?? hanya MT. Mudjaki yang tahu dan tak ada seorangpun yang bisa menyalahkannya. Tapi, hidup berubah dan milyaran kata-kata siap untuk dipetik di langit imajinasi kita. Mari kita nikmati kesederhanaan yang tidak sederhana yang kita kira.

.Sanggar Pintu Kosong Banjarnegara, 2 Juli 2009
( Drs. Drajat Nurangkoso, Sekretaris Dewan Kesenian Kab. Banjarnegara ) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar