Oleh: MT. Mudjaki
Berbicara dalam menentukan
siapa calon pemimpin negara ini, tentunya harus benar-benar atas dasar realita
keinginan, harapan dan impian seluruh rakyat Indonesia. Namun kita tahu dan harus
berani berkata jujur, pada dasarnya dari sekian perjalanan bangsa ini telah
mengalami suatu perubahan-perubahan yang belum bisa menemukan dimana titik wajah
yang sebenarnya. Oleh karena itu, saya menekankan dalam ‘Power of
Reintrospection’, agar jangan sampai: “Rupa negara tanpa mata, mata negara hilang
(lepas) dari rupanya”. Artinya, jika sebuah pandangan negara dalam
menata dan menentukan sebuah kebijakan sudah salah arah, maka negara itu akan
kehilangan wajah/jati dirinya. Dan bahkan tidak memiliki harga diri. Maka dari
itu, sudahkah ketika seorang pemimpin kita, baik pemimpin dari peringkat daerah
sampai pemimpin tingkat nasional berlaku komitmen dan konsisten?. Jika dan bila
itu ada, hanya segelintir dan hal itu dapat dihitung satu atau dua jari saja.
Tantanan menjalankan Negara
atau ‘Laku Notonegoro’ dalam sistem alam demokrasi sangat dekat erat kaitannya
dengan rakyat. Dan pemegang dukungan mayoritas ditentukan langsung oleh rakyat.
Jadi alangkah naifnya, jika seorang pemimpin telah dipilih oleh rakyat, dalam
menjalankan tugas kepemimpinannya tidak berpihak pada rakyat. Atau, malah
melupakannya.
Oleh karena itu, sebagai pemimpin
seharusnya dapat menjalankan, menerapkan dan menetapkan segala bentuk kebijakan,
baik kebijakan aspek pertanian, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya
dan....blablabla...sampai soal politik. Tentunya berpihak untuk kepentingan bagi
kesejahteraan dan kerahmatan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan satu golongan/kelompok.
Memang kita sadari, menata
suatu negara tidak semudah dilakukan. Namun selama dalam pelaksanaannya
diterapkan dengan sikap komitmen dan konsisten, atas dasar sesuai kontitusi,
tentunya tidak jadi soal.
Untuk itu, sejak negara ini telah
mencapai kemerdekaan. Pada dasarnya sudah tergambar/terlihat wajah, arah dan
tujuannya. Dimana hal itu tergambar, mulai dari lambang negara (burung Garuda),
dasar negara (Pancasila), garis-garis kebijakan ketetapan (GBHN) dan aturan pokok/mutlak
undang-undang dasarnya (UUD’45), serta falsafah jati diri keragaman bangsa
(Bhinneka Tunggal Eka). Tetapi sayang dari sekian hal tersebut, dikarenakan hanya
dorongan sebuah kekuatan kepentingan ambisi kekuasan semata dan bersifat
pribadi. Apalagi adanya kebijakan yang tidak berorentasi pada keselarasan kepentingan
rakyat, serta banyak tindakan-tindakan para pejabat maupun elit politik yang
menyalahi aturan melawan hukum. Hal tersebut dapat dilihat, bagaimana maraknya kasus
korupsi, tingginya nilai tukar mata uang asing, melambungnya harga bahan pokok
dan BBM. Dan disertai ketidakpercayaan dari dalam dan diluar (internal-eksternal)
itu sendiri. Sehingga berimplikasi terjadi perpecahan, kerusuhan, pemberontakan
dan peperangan atas dalih ‘Perubahan’. Entah perubahan dalam simbol/nama
revolusi, reformasi atau blablaba...restorasi. Atau dalam suatu jeda
masa/orde/bentuk, apakah itu namanya Orla, Orba, Indonesia Baru, Indonesia
Bersatu atau blablabla....Transisional.
Dari serentetan masa perubahan
tersebut, hanya sekedar retorika dan sebatas mulut; perut saja. Sampai-sampai pada
titiknya, juga tidak mampu untuk menetapkan kepastian sikap, baju dengan sistem
apa yang akan dikenakan/ditetapkan. Apakah kembali pada baju dengan sistem demokrasi
Pancasila, liberalis, komunis, agamais atau...blablabla...hiya, hahahaha saja. Hingga
pada akhirnya tidak mampu terwujudkan, seperti apa wajah negara ini, jadinya.......
.Salam Realisme untuk
Reintrospeksi tetap dalam Merah Putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar