Senin, 19 Mei 2014

AJI: “Jelang Pilpres, Media Harus Netral Dan Berimbang”



JAKARTA - Jelang Pilpres Juli mendatang, media cetak ataupun elektronik kian gencar memberitakan seputar persaingan bakal calon presiden (Capres) dan wakil presiden (Cawapres) pemilu presiden 2014. Hal ini, media memiliki peran penting untuk memberitakan figur capres, sehingga masyarakat bisa memilih dengan tepat.

Sementara itu, menurut Sekjen Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (Aji Indonesia) Suwarjono mengatakan, hingga saat ini, masyarakat dan calon pemilih kesulitan mencari media yang layak dijadikan acuan untuk mencari figur yang tepat untuk memimpin Indonesia kedepan. Masalahnya, seiring berjalannya waktu, tugas mulia lembaga media tersebut semakin meragukan independensinya.

Oleh karena itu, pemilik media yang ikut berkompetisi dalam politik menjadikan medianya sebagai sarana penting dan efektif untuk kampanye. Itu menyebabkan Independensi media sulit diwujudkan,” ujarnya.

D
irinya menambahkan, bahwa dalam mengemas beritanya, media tertentu tidak pernah menjaga netralitas, objetivitas dan transparansi untuk mengkritisi capres tertentu. Alhasil, yang ada hanyalah berita pencitraan pemilik media yang kebetulan ikut berkecimpung dalam pilpres atau media tersebut berafiliasi terhadap capres tertentu.

“Media harusnya netral dan memberi porsi yang sama bagi setiap capres. Tetapi faktanya itu tidak terjadi, katanya.

S
elanjutnya Suwarjono mengatakan, dalam beberapa aturan telah dijelaskan mengenai pemberitaan bahwa semua media harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh peserta pemilu.

Seharusnya media mengkritisi semua capres dengan berimbang, bukan menyerang lawan pemilik media yg ikut nyapres untuk dijatuhkan. Tujuannya adalah untuk mencerdaskan pemilih.” jelasnya,

media massa sebagai pilar keempat demokrasi seharusnya dapat berperan membangun pendidikan politik yang sehat bagi masyarakat atau calon pemilih.

Terkait pemberitaan dan iklan di media, Suwarjono berharap Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers serta publik ikut melakukan pengawasan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Peran serta itu terutama terkait dengan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan iklan Kampanye Pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau oleh media massa cetak, online dan elektronik.

“Masyarakat harus berhati-hati dalam mengkonsumsi pemberitaan yang berkembang soal kampanye. Masyarakat juga harus cerdas memilah mana berita yang objektif dan mana berita yang subjektif, imbuan dia.

Ketidakobjektifan lembaga media juga berefek pada berbagai macam pelanggaran-pelanggaran dalam dunia penyiaran. Bayangkan, dalam kurun waktu tiga hari saja, yaitu pada tanggal 5 hingga tanggal 7 Mei kemarin, menurut Anggota Komisi Penyiaran Indonesia, Amiruddin, pihaknya mencatat sedikitnya ada 24 pelanggaran penayangan iklan yang terjadi hanya pada satu lembaga media saja.

“Pelanggar terbanyak justru adalah pemilik media yang ikut bertarung dalam pemilu, baik pilpres maupun pileg,” ujarnya.

Kata dia
lebih lanjut, pelanggaran terbanyak terjadi pada frekuensi iklan dan durasi iklan yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan penyiaran yang berlaku. Selain itu, pelanggaran menyudutkan atau melakukan kampanye hitam bagi figur tertentu menjadi pelanggaran terbanyak berikutnya.

“Pada pileg lalu kami keluarkan 37 sanksi untuk media yang langgar aturan kampanye di media, dan KPI sudah mejatuhkan sanksi pada beberapa lembaga media yang jelas-jelas melanggar aturan. Sanksi paling banyak dijatuhkan pada kelompok-kelompok media besar. Sanksi yang bisa diterapkan adalah sanksi administratif, mulai dari teguran sampai pemberhentian siaran, terangnya.

Oleh karena, Dia menambahkan, nantinya laporan sanksi ini akan dijadikan catatan tersendiri bagi KPI untuk mengeluarkan perpanjangan izin bagi suatu lembaga media terkait penyaiarannya. Dia berharap, kedepannya lembaga media mau belaku bersih dan netral dalam melakukan pemberitaan dan iklan kampanye. Pasalnya kata dia, meski lembaga media boleh jadi milik perseorangan, tetapi fungsinya adalah sebagai ruang publik yang tidak didominasi oleh salah satu kepentingan tertentu.

 “Media punya peran dalam pencerdasan pemilih untuk memilih calon yang tepat dan rasional.”

Kurang atau tidak netralnya suatu lembaga media, menurut Sekjen AJI Indonesia Suwarjono juga biasanya diakibatkan oleh kuranya wawasan jurnalisnya dalam meliput dan menyajikan berita. Kekurangan tersebut kata dia, bisa soal metode dan metodologi ilmu jurnalistiknya maupun isu-isu yang akan digarap.

“Banyak media yang tidak memberikan bekal pada jurnalisnya ketika meliput berita pemilu. Akibatnya banyak jurnalis yang menelan mentah-mentah isu yang berkembang di lapangan. Namun sebenarnya itu, semua bisa diantisipasi selama jurnalis tersebut masih setia memegang teguh kode etik jurnalistiknya.”

Intinya menurut Suwarjono, untuk mengatisipasi hal ini agar tidak terus berkembang, seluruh pengambil kebijakan yang terkait dengan kesuksesan pilpres juga harus mengambil peranan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Bawaslu dapat menjalankan peran pengawasan potensi politisasi media massa untuk kepentingan tertentu yang dapat mencederai azas free and fair competition dalam pilpres. Begitu pula dengan pasangan capres dan cawapres serta parpol pengusung,

“Untuk itu, hendaknya dapat memanfaatkan momentum sesuai dengan aturan perundang-undangan, serta bergerak pada upaya kompetisi yang kualitatif, tidak hanya mengandalkan teknik-teknik pencitraan, tetapi lebih berbobot pada isu konsep dan program pembangunan nasional.

Selain itu, diharapkan agar masyarakat bisa memantau pelanggaran hukum dan kekeliruan  teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers  dan melaporkannnya ke Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. Dengan demikian, wajah demokrasi di Indonesia menjadi semakin
terarah dan matang.

.Lind@AJI/Ant/PNews/JMP-21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar