Senin, 28 Oktober 2013

Jeda Rehat Dalam Sepenggal Opini: Komitmen Dan Konsisten ‘Laku Notonegoro’ Sebuah Pilar Wajib Hukumnya Bagi Seorang Pemimpin



Oleh: MT. Mudjaki

Berbicara dalam menentukan siapa calon pemimpin negara ini, tentunya harus benar-benar atas dasar realita keinginan, harapan dan impian seluruh rakyat Indonesia. Namun kita tahu dan harus berani berkata jujur, pada dasarnya dari sekian perjalanan bangsa ini telah mengalami suatu perubahan-perubahan yang belum bisa menemukan dimana titik wajah yang sebenarnya. Oleh karena itu, saya menekankan dalam ‘Power of Reintrospection’, agar jangan sampai: “Rupa negara tanpa mata, mata negara hilang (lepas) dari rupanya”. Artinya, jika sebuah pandangan negara dalam menata dan menentukan sebuah kebijakan sudah salah arah, maka negara itu akan kehilangan wajah/jati dirinya. Dan bahkan tidak memiliki harga diri. Maka dari itu, sudahkah ketika seorang pemimpin kita, baik pemimpin dari peringkat daerah sampai pemimpin tingkat nasional berlaku komitmen dan konsisten?. Jika dan bila itu ada, hanya segelintir dan hal itu dapat dihitung satu atau dua jari saja.

Tantanan menjalankan Negara atau Laku Notonegoro’ dalam sistem alam demokrasi sangat dekat erat kaitannya dengan rakyat. Dan pemegang dukungan mayoritas ditentukan langsung oleh rakyat. Jadi alangkah naifnya, jika seorang pemimpin telah dipilih oleh rakyat, dalam menjalankan tugas kepemimpinannya tidak berpihak pada rakyat. Atau, malah melupakannya.

Oleh karena itu, sebagai pemimpin seharusnya dapat menjalankan, menerapkan dan menetapkan segala bentuk kebijakan, baik kebijakan aspek pertanian, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya dan....blablabla...sampai soal politik. Tentunya berpihak untuk kepentingan bagi kesejahteraan dan kerahmatan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan satu golongan/kelompok.

Memang kita sadari, menata suatu negara tidak semudah dilakukan. Namun selama dalam pelaksanaannya diterapkan dengan sikap komitmen dan konsisten, atas dasar sesuai kontitusi, tentunya tidak jadi soal.

Untuk itu, sejak negara ini telah mencapai kemerdekaan. Pada dasarnya sudah tergambar/terlihat wajah, arah dan tujuannya. Dimana hal itu tergambar, mulai dari lambang negara (burung Garuda), dasar negara (Pancasila), garis-garis kebijakan ketetapan (GBHN) dan aturan pokok/mutlak undang-undang dasarnya (UUD’45), serta falsafah jati diri keragaman bangsa (Bhinneka Tunggal Eka). Tetapi sayang dari sekian hal tersebut, dikarenakan hanya dorongan sebuah kekuatan kepentingan ambisi kekuasan semata dan bersifat pribadi. Apalagi adanya kebijakan yang tidak berorentasi pada keselarasan kepentingan rakyat, serta banyak tindakan-tindakan para pejabat maupun elit politik yang menyalahi aturan melawan hukum. Hal tersebut dapat dilihat, bagaimana maraknya kasus korupsi, tingginya nilai tukar mata uang asing, melambungnya harga bahan pokok dan BBM. Dan disertai ketidakpercayaan dari dalam dan diluar (internal-eksternal) itu sendiri. Sehingga berimplikasi terjadi perpecahan, kerusuhan, pemberontakan dan peperangan atas dalih ‘Perubahan’. Entah perubahan dalam simbol/nama revolusi, reformasi atau blablaba...restorasi. Atau dalam suatu jeda masa/orde/bentuk, apakah itu namanya Orla, Orba, Indonesia Baru, Indonesia Bersatu atau blablabla....Transisional.

Dari serentetan masa perubahan tersebut, hanya sekedar retorika dan sebatas mulut; perut saja. Sampai-sampai pada titiknya, juga tidak mampu untuk menetapkan kepastian sikap, baju dengan sistem apa yang akan dikenakan/ditetapkan. Apakah kembali pada baju dengan sistem demokrasi Pancasila, liberalis, komunis, agamais atau...blablabla...hiya, hahahaha saja. Hingga pada akhirnya tidak mampu terwujudkan, seperti apa wajah negara ini, jadinya.......

.Salam Realisme untuk Reintrospeksi tetap dalam Merah Putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar